Aku di bumi menunggumu, menunggu semua ceritamu tentang istana langit, menunggu semua celotehmu tentang negeri di atas awan, menunggu semua kisahmu tentang makhluk-makhluk penghuni atap bumi. Setiap apa yang keluar dari mulutmu adalah kedamaian. Karenanya aku disini, berdiri memandang langit dan berharap kamu segera pulang.
Senin, 31 Desember 2012
Sabtu, 15 Desember 2012
What is friendship?
For me, friendship is about tolerate. Yap, toleransi. Berani berteman, itu artinya kamu harus berani
menerima perbedaan satu sama lain. Dan jangan sekali-kali kamu ngejudge kalau
kamu ngerasa nggak cocok sama dia hanya karena sifat kalian bertolak belakang. Sometimes, yang bertolak
belakang itu justru bisa saling melengkapi. Like
a puzzle. Temanmu adalah pengisi kekuranganmu.
Berteman, nggak selamanya selalu sejalan. I mean, kadang di tengah jalan muncul
ketidaknyamanan atas sifat dari teman kita. Dan penyebab ketidaknyamanan itu
tidak lain dan tidak bukan adalah ego, suatu pertahanan terhadap keyakinan kita
akan pembenaran diri. Wajar jika ego kita muncul ke permukaan secara tiba-tiba.
Itu manusiawi.
Tapi coba bayangkan jika ego kamu dan temanmu muncul disaat
bersamaan, mereka akan bertubrukan satu sama lain dan saling melukai. Namun
jika kamu sudah dewasa, kamu akan tahu saat itu adalah saatnya kamu mengalah.
Ada kalanya kita membandingkan teman yang satu dengan teman yang
lain. Teman saat sekolah dengan teman saat kuliah, si A yang enak diajak curhat
dengan si B yang kelihatan nggak peduli sama kita, atau dia yang sering nggak
klik sama kita dengan dia yang punya sifat sama dengan kita. Kali ini
ujung-ujungnya kita harus kembali ke definisi dari berteman.
Friendship is about tolerate.
Dari perbedaan akan tercipta satu kesatuan. Right?
Pernah suatu ketika menonton acara Hitam Putih, Deddy Corbuzier
berkata "Selama ini orang
berpikir, sahabat yang baik itu adalah sahabat yang ada disaat kita
susah/sedih, tapi kalau menurut saya, sahabat yang baik justru adalah dia yang
ada disaat kita senang. Kalau saya sedih, saya lebih memilih untuk menyendiri
dan merenung. Tapi coba bayangkan ketika anda sedang senang, misalnya sedang
ulang tahun, tidak ada sahabat disamping anda, tidak ada yang mengucapkan
selamat ulang tahun, bukankah itu lebih menyedihkan?"
Saya setuju dengan statement itu. Kenapa kita harus mempertanyakan
kemana teman kita disaat kita sedih? Justru mereka yang ada disaat kita bahagia
adalah yang terbaik. Ketika kamu sedih dan kamu tahu teman kamu sedang bahagia, try to hide your sadness dan tersenyumlah. Atau jika kamu sudah
benar-benar tidak bisa untuk tersenyum, menghindarlah, jangan memaksa untuk
ikut nimbrung karena itu bisa memicu munculnya ego dengan perkataan
"Tolong lo ngertiin gue!". Kamu tahu dengan begitu kamu bisa merusak
kebahagiaan temanmu. Itu lebih kejam daripada nggak ada yang peduli saat kita
sedih. Sure!
Disini, bukan berarti saya sudah bisa menjadi sahabat yang baik
buat sahabat-sahabat saya. Saya cuma berusaha menjadi diri sendiri dan memahami
setiap karakter mereka. Try to
change the words "Coba
lo ada di posisi gue!" dengan "Coba ya gue ada di posisi lo...".
Dan yang terakhir, jangan gengsi ngucapin "Maaf" dan
"Terima kasih". Dua kata itu sangat ampuh mengikat tali persahabatan
lebih kuat. Berdasarkan pengalaman sih.
Sabtu, 08 Desember 2012
A Hope
(Cerpen ini pernah diikutkan lomba yang diadakan Gagas Media. Sayangnya didiskualifikasi karena terlambat ngirim)
Terinspirasi dari lagu Dewi Lestari - Selamat Ulang Tahun
5 menit lagi. Kamu tahu, kan, setelah
5 menit ini berlalu akan ada yang berubah? Karenanya aku disini, menunggu
sesuatu yang menurutku masih ber-asa dari segala ketidakmungkinan. Aku percaya,
Tuhan akan memberikan kebahagian di sela luka yang belum sempurna sembuh. Dan
itu akan terjadi 5 menit lagi. 5 menit terpenting dalam hidupku.
Jujur, aku gugup.
Aku takut terlihat aneh dengan gaun
ini. Ditambah lipstik pink dan pemerah pipi. Apa kamu akan menyebutku badut
dengan stelan seperti ini?
Sebenarnya, aku belum siap menyambut 5
menit itu. Tapi kamu yang meyakinkanku. Kamu yang selalu meyakinkanku. 5 menit
lagi. Baiklah, aku akan menunggu.
Semoga 5 menit itu tidak lama.
***
“5 menit lagi. Kenapa aku takut ya?”
Kamu menatapku lalu tersenyum. “Everything will be alright, Naya. Jangan
gemetar seperti itu,”
Aku manyun. Laki-laki ini memang
selalu menghadapi segala sesuatunya dengan santai. Kelewat santai malah. Mungkin,
kalau 1 meter di depannya ada mobil yang melaju dengan kecepatan 100 km/jam,
dia dengan santainya akan berjalan seolah masih punya nyawa cadangan. Kadang
sikapnya itu mengesalkan. Tidak bisakah dia merasakan kegugupan yang aku
rasakan sekarang?
“Hei,” tiba-tiba kamu menggenggam
tanganku yang sedari tadi mengetuk-ngetuk tembok pembatas rooftop rumah kami
yang hanya setinggi pinggangku dengan tidak berirama. Entah kenapa, seketika
itu juga ada kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku. Rasa takut pun
perlahan memudar seiring dengan terbitnya senyum itu. “Sudah siap dengan
permohonan baru?”
Aku mengangguk.
“Seberapa banyak?”
“Hanya satu,”
“Kenapa cuma satu? Kamu bisa membuat seratus
permohonan sekalipun,”
“Aku nggak butuh banyak permohonan,”
“Boleh aku tahu apa permohonanmu?”
Dengan mantap aku menggeleng, “ Ini
rahasia antara aku dan Sirius,”
Sirius yang aku maksud adalah nama
bintang yang dipercaya memiliki cahaya paling terang dalam ilmu Astronomi. Ini
semua gara-gara dia. Dongeng tentang Sirius yang dia ceritakan 8 tahun yang
lalu itu seolah sudah memiliki ruang khusus dalam kotak imanginasiku. Dan
parahnya aku percaya.
Aku percaya jika Sirius itu adalah
jelmaan dari dewa Apollo−yang orang Yunani anggap sebagai dewa cahaya. Konon, Sirius
hanya muncul satu tahun sekali dan itu jatuh tepat pada hari dimana seluruh
manusia merayakannya sebagai perayaan tahun baru. Pada hari itu, jika kita
mengajukan permohonan, maka dewa Apollo akan mengabulkannya.
Dan entah kebetulan yang disengaja
atau tidak, aku lahir di tanggal itu, tepat di malam tahun baru, 1 januari.
“Kita hitung mundur ya. 10... 9...
8...,”
Entah kenapa jantungku berdegup lebih
keras.
“7... 6... 5...,”
Aku mulai memejamkan mata. Jemariku
saling bertautan.
“4... 3... 2...1. Let’s make a wish!”
Hatiku lekas menggumam 1 permohonan
yang sudah aku siapkan jauh-jauh hari. 1 permohonan sederhana yang aku yakin
tidak akan menyusahkan dewa Apollo. Ini karena tahun lalu aku membuat begitu
banyak permohonan dan tidak semua permohonan itu terkabul. Pikirku, mungkin
karena dewa Apollo kerepotan dengan ratusan permohonan yang aku ajukan. Dan
kali ini aku meringkasnya menjadi 1.
Hanya
1, kok, dewa Apollo.
Tiba-tiba terdengar bunyi letusan dan
terompet dimana-mana. Mataku membuka dan aku sontak terpana dengan pemandangan
spektakuler dihadapanku. Ada kembang api. Kembang api yang bermunculan layaknya
cipratan cat warna-warni di kanvas hitam. Ini luar biasa. Ini... hadiah dari
Tuhan yang tidak ternilai indahnya.
“Happy
birthday to you... happy birthday to you... happy birthday, happy birthday,
happy birthday, Naya...”
Aku menoleh. Belum selesai rasa
kagumku pada keelokkan langit malam ini, dengan tiba-tiba lagi aku mendapat
kejutan baru. Kamu berdiri disana, bermandikan cahaya lampu yang diatur
sedemikian rupa pada sebuah papan putih membentuk kalimat “Happy Birthday”. Wajahmu
bersinar, seperti Sirius di malam ini. Lalu kamu tersenyum. Aku sampai tak
dapat berkata-kata dan hanya bisa berkaca-kaca.
“Cut Nayala Anggraini, selamat ulang
tahun yang ke 16 ya. Semoga kamu semakin dewasa, semakin cantik, selalu sehat
dan tidak kurang satu apapun. Dan oh ya, semoga permohonanmu pada sirius
dikabulkan. Aku menyanyangimu. Selalu,”
Setelah kamu mengucapkannya, detik itu
juga pipiku basah.
***
Malam ini dingin sekali. Sepertinya
udara di rooftop rumah sedang tidak bersahabat. Tubuhku gemetar. Hidungku
sampai meler beberapa kali. Tapi semua bisa aku tahan sebentar saja. Mungkin
sampai kamu datang.
2 menit lagi.
2 menit lagi saat itu akan tiba. Aku
butuh kamu untuk melengkapi semuanya. Cepatlah datang, Siriusku.
***
KRIIINGGG!!!
Telpon rumah berdering. Tidak ada
orang di rumah selain aku. Sepertinya mbok Tarti sedang ke pasar. “Halo,”
“Halo, Mbok. Naya ada?”
Aku mengenal suara itu. Seketika itu
juga ide jahilku muncul. “Maaf, Mas Gilang, mbak Nayanya tadi kabur,”
“Hah? Kabur? Kabur gimana maksudnya,
Mbok?”
“Ndak
tau, Mas. Tadi dia tiba-tiba pergi bawa koper,”
“Serius? Mbok nggak becanda, kan?”
terdengar nada panik dari kalimat itu. Perutku langsung geli.
“Kalo saya becanda, Mas, kan harusnya
ketawa,”
“Mbok, tolong dong jangan main-main!
Saya udah pusing sama pekerjaan di kantor. Saya nggak ada waktu becanda
sekarang!”
Aku menyerah. Rasanya sakit sekali
menahan ribuan semut yang menggelitiki perutku. Tawaku langsung meledak.
“Na... Naya?”
“Hahahaha. Serius amat sih, Mas
Gilang. Jangan diambil pusing ah, nanti cepet tua. Hehehe,”
Hening di seberang.
“Mas, kok diem?”
Ada helaan nafas terdengar. “Naya,
kamu tahu jantung aku udah mau copot,”
“Cie... kaget ya? Hahahaha,”
“Naya, ini nggak lucu. Aku panik, Nay.
Tahu kamu seberapa khawatirnya aku? Tadi aku sempat kepikir mau beli tiket ke
Jakarta saat ini juga begitu tahu kabar kamu kabur. Kamu tahu, kan, jarak
Amsterdam-Jakarta itu nggak deket? Ribuan kilo, Nay! Dan aku yakin, kamu nggak
kepikiran kalo aku bakal ketakutan setengah mati selama menempuh ribuan kilo
itu. Aku takut kehilangan kamu, Naya. Aku takut,”
Hening kembali. Kali ini sunyi yang membungkam
mulutku. Entah kenapa rasanya sakit sekali. Kata-kata itu... seperti pedang
yang menusuk-nusuk ragaku. Perih. Mataku langsung panas.
“Ma... maaf,”
***
Perihal kabur, aku sudah sering
melakukannya beberapa tahun yang lalu. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.
Aku hanya merasa tidak enak. Ini bukan tempatku. Ini bukan “rumah”ku. Rasanya
seperti orang asing yang terperangkap dalam pulau terpencil. Segalanya serba
tidak nyaman.
Aku cuma ingin satu. Pulang ke rumah.
Rumahku yang sebenarnya. Rumah tempatku dilahirkan. Kalo dipikir-pikir gampang
saja. Aku tinggal pulang ke rumah dan hidup bahagia disana. Tapi masalahnya
tidak sesederhana itu.
Aku tuna wisma. Rumahku hancur pada peristiwa
tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam. Segalanya terenggut saat itu. Tidak hanya
rumahku, tapi juga jiwaku. Menyakitkan memang melihat begitu banyak jasad
berserakan disekelilingku. Tapi tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat
ayah dan ibuku terjepit diantara timbunan batu bata dan beton sedangkan aku
tidak bisa berbuat apa-apa karena umurku baru 9 tahun saat itu.
Duniaku menjadi gelap. Tidak ada
cahaya sama sekali. Aku seperti tidak punya harapan, tidak tahu kemana harus
menuju. Semua orang berteriak tapi aku merasa kesepian. Hancur. Semuanya hancur.
Rasanya paru-paruku sudah tidak sanggup beroperasi lagi sebagaimana mestinya.
Mungkin sebaiknya Tuhan mencabut nyawaku saat itu juga.
Tapi ternyata Tuhan malah menggariskan
takdir yang sebaliknya. Dia mengirim kamu. Seakan menjadi penerang diantara
kabut duka pada hari itu. Kamu, dengan seragam kaos bertuliskan “Relawan PMI”
membawaku keluar dari ruang gelap itu. Tidak hanya itu, kamu juga memberiku
harapan baru dengan caramu yang unik. Dongeng tentang Sirius. Dongeng tentang
harapan yang akan selalu muncul di malam tahun baru. Kamu menceritakannya
dengan menggebu-gebu. Dan bodohnya aku percaya begitu saja.
Takdir menuntunku menuju rumahmu.
Alasannya sederhana, kamu butuh teman disana. Rupanya kamu juga sebatang kara.
Tapi berbeda denganku, ayah ibumu masih bernyawa. Hanya saja, jarak ribuan kilo
yang memisahkan kalian. Kamu di Jakarta dan mereka di Amsterdam. Sedangkan aku?
Aku dan orang tuaku terpisah oleh dunia yang berbeda. Kami tidak akan bertemu
lagi selama aku masih memilih menapak jejak pada bumi.
Tahun berganti tahun, Sirius datang
lalu pergi, luka itu pulih secara perlahan. Hidupku nyaris kembali sempurna.
Kamu seolah menjadi perekat serpihan-serpihan bahagiaku yang berserakan. Entah
kenapa, aku rela menunggui pintu itu sampai ralut malam, asal bisa melihat kamu
datang sepulang kerja. Aku rela bangun lebih pagi, asal bisa memandang ekspresi
lugumu saat tidur. Aku rela berpura-pura bahagia, asal bisa menikmati senyummu
setiap saat.
Awalnya aku menduga ini hanya sebuah
refleksi dari rasa nyaman yang kamu ciptakan. Namun seiring bertambahnya umur,
aku merasa ada yang aneh. Ada sesuatu yang tumbuh, entah apa itu, yang lama kelamaan
menyesaki seluruh ruang dihatiku. Seperti... rasa tidak ingin kehilangan. Apa
ini sudah tidak normal?
Mungkin bisa dikatakan dalam batas
kewajaran jika kamu bukan seorang lelaki yang 11 tahun lebih tua dariku atau
jika kamu bukan seseorang yang baru aku kenal secara tidak sengaja dalam sebuah
tragedi besar atau jika kamu bukan seorang pria yang sudah seharusnya memilih
wanita dewasa sebagai pendamping hidup bukannya seorang gadis remaja yang masih
bertingkah kekanakkan. Tapi pada akhirnya aku harus menyadari bahwa ini bukan
negeri dongeng yang dengan mudahnya menyatukan cinta sang putri dan pangeran.
***
“Nay, aku mau ngasih tau kamu sesuatu,”
Malam ini tumben-tumbennya kamu pulang
lebih awal dan mengajak aku makan malam di rumah. Menunya nasi goreng spesial
ala mbok Tarti. Walaupun sederhana, tapi rasanya menyenangkan karena ini adalah
momen langka. Bisa duduk berhadapan dengan kamu tepat pukul 7 malam seperti ini
mungkin bisa dihitung dengan jari sangking jarangnya kamu pulang sebelum tengah
malam.
“Wah, samaan dong! Aku juga mau ngasih
tau Mas sesuatu,” ujarku dengan wajah semeriah mungkin.
“Oh ya? Tentang apa?”
Aku meletakkan sendokku dan beralih
menopang dagu. “Tebak dulu!”
“Kamu baru beli boneka baru?”
“No!”
senyumku merekah. Aku tau kamu tidak mungkin bisa menebak.
“Ada siaran ulang barbie di televisi?”
“Haha, bukan,”
“Terus apa? Kasih clue dong!”
“Sesuatu yang bakal bikin Mas kaget,”
Wajahmu berubah serius. Aku tahu kamu
sedang memutar otak untuk menebak-nebak apa yang ingin aku katakan. Andai kamu
tahu, semakin kamu mengerutkan keningmu, wajahmu semakin lucu. “Kecoa?”
“Kenapa mikir kesitu?”
“Ya terus apa dong?”
“Jadi nyerah nih?” tanyaku sambil
mengerling nakal.
Kamu mengangkat tangan tanda menyerah.
Aku tersenyum penuh kemenangan. “Payah
nih! Masa gitu aja nyerah. Jadi gini... sebenernya yang mau aku kasih tau
itu...,” sengaja aku menggantungkan kalimat itu sambil mengamati ekspresimu
yang terlihat dipenuhi rasa penasaran. Keningmu yang berkerut, alis tebalmu
yang terangkat naik, mata coklatmu yang berubah membulat, hidungmu yang
terlihat menahan nafas, lalu berakhir pada mulutmu yang menganga lebar—entah
kenapa membuatku semakin terpesona. Denyut aneh ini terasa kembali. Denyut yang
hanya muncul pada saat sorot mataku dan matamu bertemu pada satu titik.
Sepertinya ketidaknormalan ini mulai muncul lagi.
“Hei, kok malah bengong?” seketika itu
juga kamu membuyarkan khayalanku.
Aku nyengir. “Sebenernya.... aku punya
kejutan buat Mas,” aku melihat perubahan air muka di wajahmu. Sebelum kamu
membuka mulut, aku sudah menyambar lebih dahulu. “Dan kejutannya bakal ada pas
malam tahun baru nanti, tepat saat aku berumur 17 tahun,”
Aku kira kamu akan memaksaku memberi
tahu apa bentuk kejutan itu. Karena setahuku, kamu orang yang paling anti sama
yang namanya kejutan. Kamu paling nggak suka dibikin penasaran. Tapi anehnya,
kali ini kamu justru diam.
“Kok kelihatan nggak seneng sih?” aku
manyun.
“Ng... nggak kok, aku seneng. Hehe,”
Entah kenapa aku mengendus ada yang
tidak beres dengan dirimu, mungkin lebih tepatnya ada yang salah dengan
rangkaian saraf di otakmu. Aku lihat dari tadi kamu lebih banyak mengunci mulut
dan tidak sebawel biasanya. Kulitmu juga memucat. Apa jangan-jangan kamu sedang
sakit?
“Oh iya, Mas mau ngasih tau apa?”
“Hah?
“Tadi katanya Mas mau ngasih tau
sesuatu,”
“Oh... nggak jadi deh, hehe,”
***
Aku melirik jam tangan yang tidak aku
kenakan. 30 detik lagi dan kamu belum juga menampakkan batang hidung. Rasa
gelisah itu semakin menyeruak dan membuat pikiranku menjadi tidak karuan.
Berbagai spekulasi muncul dalam benakku. Tapi aku menepisnya dan berharap kamu
nyata ada disini saat ini juga.
Untuk mengusir sepi, otakku sedari
tadi memutar memori lama dalam album kenangan antara aku dan kamu. Semuanya
terasa menyenangkan. Terutama di tempat ini. Tempat rahasia yang menjadi penghubung
antara aku, kamu dan Sirius. Sebuah rooftop yang cukup luas. Tidak ada barang
satupun disana, bahkan lampu sekalipun. Ini yang sering aku keluhkan padamu.
Aku butuh lampu karena aku takut gelap. Dan kamu tahu sebabnya. Trauma psikis.
Tapi setiap kali aku mengeluh seperti
itu kamu selalu berkata bahwa semakin hari langit akan semakin turun dan suatu
saat kamu bisa menggapainya hanya dengan berjinjit saja. Lalu ketika saat itu
tiba, kamu berjanji akan memetik salah satu bintang di langit untuk kamu jadikan
lampu di rooftop ini supaya aku tidak takut lagi. Aku boleh memilih bintang
mana yang cocok untuk dijadikan lampu. Dan aku memilih Sirius.
Sirius, bintang ini sudah memberi
kekuatan tersendiri untukku menjalani sisa hidup. Sejak tragedi itu, aku selalu
menanti setiap malam tahun baru dan mempersiapkan permohonan-permohonan khusus
beberapa hari sebelumnya. Malam tahun baru sudah menjadi malam sakral yang
sangat amat berarti untukku. Ada 3 hal yang membuat malam itu begitu berharga.
Pertama, pada malam itu aku akan
bertambah usia. Kedua, Sirius, bintang kesayanganku ini akan muncul dan aku
bisa mengajukan permohonan padanya. Ketiga, ini yang sebenarnya menjadi alasan
terbesar mengapa aku begitu menyukai malam itu, karena kamu akan meluangkan
seluruh waktumu yang mahal untukku. Ya, hanya untukku. Tidak diduakan dengan
pekerjaan kantor atau kesibukanmu yang lain.
Dan detik itu semakin mendekat. Dingin
menusuk-nusuk kulit seakan sedang mengadakan konspirasi besar dengan alam untuk
membunuhku secara perlahan. Tubuhku gemetar kian hebat. Aku butuh kamu. Aku
butuh pelukmu. Aku mohon, sebentar saja datang kesini. Sebentar saja, kuatkan
aku. Jadikan aku siap menghadapi kenyataan bahwa sebentar lagi kamu akan
menjauh, sebentar lagi kamu tidak akan lagi bisa melewati malam tahun baru denganku,
sebentar lagi dongeng sirius itu akan benar-benar lenyap dalam ingatanku.
Sebentar lagi, sebentar lagi, dan
sebentar lagi...
Sejujurnya, aku belum siap mengganti
kata sebentar lagi itu dengan saat ini.
***
Dear, Naya
Sebelum
kamu membaca surat ini sampai akhir, aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak
pernah berpura-pura menyayangimu. Aku benar-benar sayang kamu sejak awal Tuhan
menggariskan takdirku menemukanmu. Kamu yang membuatku merasa memiliki hidup.
Hidup yang dalam definisi kamusku berarti tidak lagi merasa kosong ditengah
suara-suara berisik yang tumpang tindih dalam gendang telingaku.
Kalau
aku boleh menganalogikan, kamu itu seperti crayon, punya banyak warna yang
masing-masing warna mencerminkan 1 perasaanmu. Aku melihat warna biru saat kamu
sedang tersenyum. Sejuk dan mendamaikan. Lain waktu aku bisa melihat warna
merah saat emosimu sedang meledak-ledak. Atau warna hitam saat hatimu sedang
dirundung kesedihan. Semua terlihat jelas, Naya. Terlalu jelas. Bahkan sampai
saat kamu memancarkan warna merah jambu di setiap kali aku berada di sampingmu.
Naya...
kamu itu perempuan terhebat yang pernah aku temui. Ketegaranmu menantang hidup adalah
alasan mengapa aku berkata demikian. Aku kagum padamu. Dan entah atas dorongan
apa, aku selalu ingin melindungimu, aku selalu ingin menjaga nyala mata itu,
aku selalu ingin menjadi alasan di balik tawa riangmu.
Awalnya
aku hanya berpikir bahwa selamanya aku bisa menjagamu karena kita satu atap.
Tapi ketika hari itu datang, aku menyadari bahwa segalanya tidak sesederhana
itu. Hari itu adalah hari dimana aku terjatuh pada hati perempuan lain. Namanya
Claudia. Dia teman kecilku saat aku masih tinggal di Amsterdam. Dialah pencipta
asli dongeng Sirius itu. Dongeng yang sebenarnya ditujukan agar aku tidak
menangis ketika ayah dan ibu tidak bisa pulang ke rumah karena sibuk dengan
urusan kantornya.
Aku
tidak menyangka dongeng Sirius itu akan berefek besar pada kehidupanmu. Dan
kehidupanmu adalah kehidupanku juga. Maka ketika kamu kembali menjadi kamu, aku
pun seperti punya nyawa cadangan sehingga hidupku kembali hidup. Namun seperti
yang kukatakan sebelumnya, semua ternyata tidak sesederhana itu. Aku tidak memikirkan
akan hadirnya kehidupan lain yang kelak menjadi kehidupanku juga.
I’m so sorry Naya if what i wanna tell
to you will hurt you much. Aku nggak bisa
datang malam tahun baru nanti. Aku harus ke Amsterdam. Aku dan Claudia akan
bertunangan. Sebenarnya berkali-kali aku ingin memberitahumu, tapi aku nggak
sanggup. Aku takut akan merusak semua kebahagiaanmu bahkan sebelum hari H itu
datang. Maafkan aku, Naya. Maafkan aku jika keputusanku tidak memberitahumu ini
salah.
Dan
aku ucapkan, selamat ulang tahun, Naya. Jadilah perempuan yang semakin dewasa,
cantik hatinya, rupanya, maupun tingkah lakunya. Dari sini aku akan memohon
pada Sirius untuk terus menjagamu karena aku tidak akan bisa lagi menemuimu
sesering dulu.
Aku
harap kamu mengerti, Naya. Aku menyayangimu, tapi aku mencintainya. Sekali lagi
maaf.
Gilang
***
“10... 9... 8...,”
Cut
Nayala Anggraini, selamat ulang tahun yang ke 16 ya. Semoga kamu semakin
dewasa, semakin cantik, selalu sehat dan tidak kurang satu apapun. Dan oh ya,
semoga permohonanmu pada Sirius dikabulkan. Aku menyanyangimu. Selalu.
Mataku panas dan hatiku terasa
disesaki sesuatu yang menyakitkan. Sakitnya melebihi hawa dingin yang begitu
mencekam sedari tadi.
“7... 6... 5...,”
Aku
takut kehilangan kamu, Naya. Aku takut.
Ada air disana, tertampung di kedua
kelopak mataku. Semakin lama semakin menggunung dan rasanya perih.
“4... 3... 2... 1,”
Tes!
Kelopak mataku melemah dan air itu
mengalir dengan indahnya seiring dengan munculnya kembang api berwarna-warni di
angkasa gelap.
Aku
harap kamu mengerti, Naya. Aku menyayangimu, tapi aku mencintainya. Sekali lagi
maaf.
“Kamu yang nggak pernah ngerti,
Gilang. Semua ini buat kamu,”
Saat itu juga aku menghapus seluruh make up yang menempel di wajahku. Bodoh!
***
Sirius,
di ulang tahunku yang ke 16 ini, aku cuma mau memohon satu hal.
Kuatkan
aku untuk mengatakan yang sejujurnya padanya nanti,
tepat
saat aku berulang tahun yang ke-17,
bahwa
aku mencintainya,
sepenuh
hati.
Selasa, 04 Desember 2012
Langganan:
Postingan (Atom)