Kamis, 03 Januari 2013

True love?



# Ed

Honestly, i’m still in love with Yuri. Bodoh? Ya, aku memang bodoh. Mungkin aku adalah satu-satunya pria dari sekian milyar manusia yang masih saja percaya kalau cinta sejati itu akan datang andai kita mau bersabar menunggu.

Shit! Sebenarnya aku benci kata menunggu.

Tapi Yuri, perempuan itu—entah apa yang dilakukannya sampai memberi efek sedemikian besar terhadap hidupku. Aku gila. Bahkan sintingnya, aku rela menemaninya saat ini, di tempat ini, pukul segini, hanya karena—i know i’m stupid enough to do this—dia tidak bisa tidur. I mean, ini pukul 01.00 pagi dan ini di pinggir tebing! Mana ada orang yang mau bangun dan pergi ke tempat seperti ini hanya untuk menemani seseorang yang tiba-tiba menelponnya dan mengatakan dia tidak bisa tidur sehingga butuh teman mengobrol?

Oke, enough. *Inhale* *Exhale*

Yuri, if i can describe her in one word, she’s—for me—everything. I like (and love) everything on her. Rambut ikalnya yang panjang berkilau, alis tebalnya seperti ada barisan semut membentuk lengkungan sempurna, mata coklatnya yang berpendar indah, hidung mungilnya yang menyerupai seluncuran taman kanak-kanak, bibir kecil tebal pink eksotis—i don’t know how to find a simple word to describe this best part on her that i loved much.

Dulu, Yuri cantik. Sekarang, dia mempesona. Aku bukannya gombal. That’s fact. Sejak dulu sampai sekarang, Yuri selalu bisa membuatku—bahkan mungkin semua pria—menahan kedipan mata kami untuk sekian detik. Entahlah, she has an—people say it “inner beauty”. Apapun yang dia pakai, apapun yang dia lakukan, apapun yang dia ucapkan, selalu dan selalu membuat aura cantiknya terpancar.

I know her more than she know herself. Aku adalah (sialnya) sahabatnya sejak kami masih sama-sama suka bermain petak umpet. Bukankah, itu sudah petunjuk Tuhan kalau aku dan dia—berjodoh? Haha. Stupid! Aku tahu aku hanya tidak bisa menerima kalau di ruang hatinya sudah ada yang menempati. Lelaki idamannya. Lelaki yang selalu bisa membuatnya tertawa. Seharusnya. Tapi apa yang lelaki itu lakukan sekarang? Kemana dia ketika Yuri tidak bisa tidur?

My eyes stuck on her (again). Ya Tuhan, dia semakin kurus. Tubuhnya tidak sekuat dulu. Matanya sayu namun masih bependar seindah bintang di malam ini.

“Ed, aku suka tempat ini,” Yuri membuyarkan lamunanku.

I know, Yuri,”

You know what?

Everything, about you,

Really?

“Yeah, mau bukti?”

No. I know it, Ed,” Yuri merebahkan kepalanya di bahuku.

Dari sini, tampak jelas kerlip bintang di langit gelap berpadu lampu-lampu rumah dan jalanan layaknya taburan bintang dibawah kaki bukit. You safe here, Yuri... Here, in my heart.

***

# Yuri

Ed, i’m very lucky to have him. Dia lelaki ter—i  can’t describe him just in a few words—sangking banyaknya ter—bla bla bla yang dia miliki. Mungkin satu kata yang bisa aku ucapkan tentangnya. Ed gila. Dia lelaki tergila yang pernah aku temui.

How come? Lihat ini, his shoulder, always available 24 hours for me.

“Ed, dia muncul lagi malam ini,” aku menegakkan kepalaku yang masih sedikit nyut-nyutan.

“Dimana?” Mendengar pertanyaan ini aku menoleh padanya sembari mengerutkan kening. “Oh, maksudku, mimpi baik atau...,” Ed menggantungkan kalimatnya, seperti enggan menyebutkan.

“Entahlah,” Aku menghembuskan nafas panjang. Udara dingin menelusup dibalik sweater tebalku. Dingin sekali.

Hening. Kami seakan mempersilahkan angin yang berbicara. Sudah biasa, suasana seperti ini sudah sering aku lewati bersama Ed. Saat aku dan dia tidak ada bahan pembicaraan dan kami membiarkan hening yang bersuara. Aku tidak masalah. Asal bersamanya, aku tenang.

“Yuri,”

“Ya, Ed?”

“Apa dia... masih berarti untukmu?”

Aku memandang wajah Ed yang masih menatap lurus ke depan. “Jujur, masih. Dia masih disini,” Aku meletakkan telapak tangan di dadaku. “Kenapa?”

“Kalau gitu...,” Ed mulai menatapku. “ Kita sama,”

Aku tersentak sepersekian detik. Mata itu... mata Ed... seperti... berbicara. Aku bisa merasakannya.

Udara dingin semakin menusuk-nusuk tulangku. Aku mencengkram kedua lenganku seperti sedang memeluk diriku sendiri. Tubuhku gemetar. Nafasku mulai sesak.

Tiba-tiba dua tangan kurus itu memelukku. “Kamu pakai berapa lapis baju?”

“Dua,”

“Besok pakai empat ya. Kalau lebih malah lebih baik. Badanmu butuh pelindung yang lebih hangat,” Ed memelukku semakin erat. Badanku terbenam dalam tubuh besarnya yang mulai mengurus. Aku merasakan tangannya mengelus-elus rambutku.

Entahlah, tiba-tiba ada kehangatan menjalar di kulitku. Dengan dua lapis baju pun aku bisa merasa hangat, asal ada Ed disampingku. “Kenapa kamu seperti ini, Ed?”

“Apa maksudmu?”

“Kenapa kamu selalu ada untukku? Kenapa kamu tidak menikah saja dengan perempuan yang kamu cintai, lalu memiliki anak-anak yang kelak saat dewasa akan memberimu cucu-cucu yang lucu? Kenapa kamu...,” Aku menelan ludah. “lebih memilih sendiri?”

Herannya, Ed malah tertawa. “Dari kita TK, SD, SMP, SMA, kuliah, kerja sampai kamu menikah, punya dua anak yang sama-sama gantengnya dan tiga cucu yang lucu, kamu masih tetap cerewet ya?”

Aku mencoba melepaskan diri dari pelukkan Ed lalu memandangnya. Mata kami bertemu untuk kesekian kalinya. Deru nafas kami beradu. “Kamu bodoh, Ed,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Ed menyerah dan akhirnya menunduk. Sedetik kemudian memandang lurus ke depan. “Ya, aku bodoh,” Ed tersenyum. Senyum tulus yang biasa dia berikan untukku.

Angin menggoyang-goyangkan rambutnya yang sudah memutih. Aku terkagum. 65 tahun kami bersahabat dan Ed masih sama seperti dulu—Ed yang tampan, Ed yang baik hati, Ed yang selalu menjadi malaikat pelindungku.

Dan Ed... 
yang selalu mencintaiku.

-THE END-