Jumat, 23 Maret 2012

Sebuah Cerpen: Segienam

Matanya tidak dapat berbohong. Aku lihat betul ada cipratan-cipratan aneh setiap kali tatapannya tertuju pada sosok itu. Gayanya saja yang terlihat tidak peduli. Sifat tomboynya memang terlalu dominan dan menutupi sifat kewanitaannya. Tapi walau bagaimanapun dia tetaplah seorang perempuan. Dia punya perasaan.

Namanya Killa. Anaknya manis. Dia termasuk salah satu orang penting di sekolahku. Bagaimana tidak? Dia pernah menjadi wakil dari Indonesia dalam turnamen taekwondo se-ASEAN. Otaknya juga cerdas. Namun sayangnya kurang diasah. Aku perhatikan dia sering tidur di kelas. Entah karena apa. Mungkin dia punya alasan.

Killa berjalan ke arah sosok di ujung koridor itu. Kedua tangannya memegang masing-masing satu botol pocari sweat. Salah satu botolnya dilempar asal ke arah sosok itu. Dan sosok itu terkejut bukan main. Killa tertawa melihat reaksinya. Sosok itu marah. Tapi Killa tidak perduli. Dia duduk di samping sosok itu, masih dengan tawa yang sama.

“Sayang, sebentar lagi band aku manggung. Doain ya,”

Aku terperangah mendengar suara itu. Ah, ternyata pacarku. Aku tersenyum padanya sembari mengangkat jempol pertanda aku pasti akan mendoakannya. Dia mengacak-acak rambutku lalu berbalik dan pergi meninggalkanku menuju kerumunan massa di depan panggung.

Tiba-tiba aku merasa tidak becus menjadi seorang pacar. Bukankah seharusnya aku memberinya semangat?

“Sayang,” aku memanggilnya sebelum dia semakin menjauh. Dia menoleh ke arahku. “Semangat ya!” ucapku sambil mengangkat kepalan tangan.

Dia tersenyum. Senyum yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Tapi rasanya aneh. Ada yang berbeda. Apa ini perasaanku saja?

Dia membalik badan lalu pergi menjauh. Aku memandang punggungnya lekat. Dia merogoh saku celananya dan mengambil handphone. Sepertinya dia ingin menelepon seseorang. Siapa yang dia telepon?

Entah kenapa mataku langsung tertuju pada Killa.

***

Suara berisik dilapangan sekolah membuatku tidak nyaman membaca buku Physics Education ini. Sekalipun aku sedang berada di perpustakaan yang sepi. Ya, seharusnya tempat ini hening dan tenang. Karena sepenglihatanku, hanya ada aku dan penjaga perpustakaan di tempat ini. Namun suara musik yang kata Daffa beraliran rock ini berdentum kencang memekakkan telinga. Dinding perpus pun tak cukup kokoh meredam suara –suara tidak jelas itu. Heran, kenapa Daffa begitu suka musik brutal seperti ini?

Aku menutup buku. Percuma saja sepertinya jika aku melanjutkan hobby membacaku dalam keadaan berisik seperti ini. Mataku menerawang menembus jendela perpus. Entah kenapa, titik sorot mataku bertumpu pada satu sosok berkilau di bawah pohon beringin di sisi lapangan.

Gia. Nama yang selalu terdengar indah di telingaku. Sejak SD dulu, dia selalu berkilau dengan kesederhanaannya. Sayangnya dia sering tidak percaya diri. Andai aku punya kesempatan untuk mendekatinya, hal pertama yang akan aku lakukan adalah memberinya semangat untuk tidak malu tampil di muka umum. Aku tahu dia punya bakat menyanyi, tapi dia tidak pernah memperlihatkannya di depan umum.

Dulu saat SD kelas 6, ujian kesenian adalah menyanyi. Mau tidak mau dia harus tampil di depan kelas. Awalnya kelihatan meragukan, tapi saat dia mulai bernyanyi, suaranya menggetarkan seisi kelas. Bulu kudukku sampai berdiri. Dan pada akhirnya, dia lah satu-satunya anak yang mendapat nilai 100 dalam ujian kesenian saat itu.

Aku memang telah mengenalnya sejak lama. Tapi entah kenapa nyaliku selalu ciut setiap kali aku ingin mengajaknya berbicara. Bahkan saat berpapasan pun aku tidak berani menatap matanya, apalagi tersenyum. Bodoh. Ya, aku memang bodoh. Aku menyukainya tapi aku hanya bisa memandanginya dari balik jendela seperti ini.

Tiba-tiba seseorang yang aku kenal muncul dalam pandanganku. Dia mendekati Gia. Tangannya mengacak-acak rambut Gia mesra. Sial. Dadaku rasanya panas. Cemburu itu muncul lagi. Untungnya dia segera meninggalkan Gia menuju panggung. Rasa panas itu kembali mendingin.

Handphone-ku berdering. Dari Daffa.

“Heh, bray, bentar lagi gue manggung nih. Gue mau tunjukkin ke elo musik rock itu nggak selalu brutal. Gue tunggu ye dibawah panggung,”

Klik. Telpon terputus.

***

Mataku menangkap satu siluet di ujung koridor. Dalam sekejap aku sudah tau siapa sosok itu. Tertidur dengan posisi duduk di lantai dengan telinga disumbat headet. Siapa lagi kalau bukan Yuza, kapten tim sepak bola kebanggaan sekolahku.

Kebiasaannya memang seperti ini. Ujung koridor ini adalah tempat favoritnya untuk tidur. Dia memang sangat suka tidur. Tapi dia tahu waktu-waktu yang tepat untuk tidur, tidak seperti aku. Haha. Aku suka kebablasan tidur di kelas. Itu karena sekarang setiap sore sampai malam aku harus melatih taekwondo di kompleks sebelah rumah. Lumayan uangnya buat jajan, nggak nyusahin orang tua. Sampai sekolah pun, tubuhku akhirnya menyerah. Capek.

Ide jahil muncul dibenakku. Aku lemparkan salah satu botol pocari sweat dan jatuh tepat dipangkuannya. Yuza terlonjak kaget. Sungguh, ekspresinya benar-benar lucu.

“Hahaha, kaget ya?”

“Kampret!” Dia membuka headsetnya. Tangannya menurunkan kacamata lalu mengusap matanya yang merah dan berair. “Sialan lo, La!”

Aku duduk di sebelahnya. “Hahaha, lagian sih lo suasana lagi berisik gini masih aja sempet-sempetnya tidur,”

“Ngapain juga gue dengerin band-band alay itu,” ujarnya cuek.

Walaupun bukan aku yang di bilang alay, tapi rasanya aku tidak terima dia menyebut band-band di panggung itu alay, "Heh, mereka itu bukan band alay. Itu namanya band indie, band yang masih baru, masih fresh. Lagian temen lo si Daffa itu ikut acara ini juga. Berarti dia alay dong?”

“Ya kecuali dia,”

Aku menempeleng kepalanya. “Woo, pilih kasih,”

Yuza melengos. Dia kembali memasang headsetnya. Mata sendunya terpejam. Ah, kenapa dia harus tidur lagi? Tidak bisakah dia menghargai kehadiranku?

Aku mencoba menghibur diri. Ini memang sifat Yuza. Nggak peka, bukan tipe perasa. Bahkan dengan jarak sedekat ini pun selama kami duduk di bangku SMA, dia tidak pernah menganggap kehadiranku itu sebagai sesuatu yang aneh. Ehm, maksudku, jika aku menjadi dia, aku akan merasa aneh dengan perempuan yang selalu mendekatiku, seolah menawarkan persahabatan yang aku sendiri tidak butuh.

Aku sering bertanya dalam hati. Apakah dia tidak pernah sedikitpun menangkap gelagat aneh dariku? Daffa saja sering memergokiku sedang memperhatikannya.

Yeah, Daffa memang cowok paling sialan yang pernah ada. Sering sekali dia memancing respon dari Yuza. Pernah saat aku sedang melamun, Daffa mengagetkanku dengan berteriak, “Eaaa, lagi ngelamunin Yuza yaaa? Hahaha,”. Seisi kelas pun dengar, bahkan mungkin Yuza sendiri. How “kampret” he is!

Tapi walaupun mengesalkan, tidak aku pungkiri bahwa celetukan-celetukan Daffa itu sangat membantuku. Setidaknya aku tidak perlu mengatakan langsung pada Yuza kalau aku tertarik padanya. Bukannya aku nggak berani ngomong langsung, tapi aku nggak mau disamakan dengan cewek-cewek genit itu. Cewek-cewek yang menjuluki diri mereka “Yuza holic”, sebuah fans club penggila Yuza yang merupakan gabungan cewek-cewek dari kelas 1 sampai kelas 3. Padahal Yuza sendiri tidak merasa punya fans.

“Hello Smansasi, MANA SUARANYAAAAAA???”

Suara itu terdengar menggema dari atas panggung. Aku memicingkan mata. Sontak aku menggoyang-goyangkan tubuh Yuza. “Heh, Yuza bangun! Daffa tuh tampil!”

Yuza tergelak. Dia menurunkan kacamata lalu mengusap matanya yang kembali merah dan berair. “Hah? Serius?”

“Iya, yaudah yuk kesana!” aku menarik tangannya kasar.

***

Andai mereka tidak menarikku kesini, mungkin aku masih bisa berteduh di dalam kelas. Mereka adalah teman-teman dekatku. Dea, Rita, Tania, dan Selvy. Awalnya aku menolak ajakan mereka. But, in the name of friendship, aku sampai rela berada di tengah-tengah kerumunan orang seperti ini. Euw, panasnya.

“Sebentar lagi band kita maju nih,” ucap Selvy antusias. Teman-temanku yang lain tak kalah antusias. Mereka bahkan sudah menyiapkan sebuah teriakan untuk mensupport band dari sekolah kami nanti ketika tampil. Mungkin cuma aku saja yang tidak menikmati keramaian ini.

“Hello Smansasi, MANA SUARANYAAAAAA???” teriak MC dari atas panggung membuat suasana semakin gaduh.

“GO SMANSASI, GO SMANSASI, GO GO GO, AAAARRRKKKHHHH!!!”

Aku melihat kesekeliling. Semua orang terlihat excited. Eh, tapi, hey, ternyata bukan cuma aku yang tidak tertarik. Dia juga. Sudah aku duga. Tapi kenapa dia ada disini ya? Biasanya jika suasana sudah ramai seperti ini dia akan bersembunyi di perpustakaan. Aku mengenalnya. Dia memang suka tempat yang hening, sepi, jauh dari keramaian.

Ya, aku sangat mengenalnya. Dulu, entah sekarang. Tapi sepertinya dia masih tetap sama. Kesukaannya tetap memakai kemeja kemanapun dia berada. Aku lihat tangannya juga menenteng buku berjudul “Physics Education”. Oh God, dia masih suka fisika rupanya, pelajaran paling membosankan yang pernah aku temui. Big applause.

Eh, kenapa aku jadi kangen ya? Ya Tuhan, aku kangen dengan kekakuannya, kangen dengan omelannya setiap kali aku malas belajar, kangen dengan jokes-jokes garingnya. Ingin sekali aku bertanya, “Fatra, did you feel the same with me?

Aku ingat terakhir kali kami berada dalam jarak yang dekat. Saat itu dia marah. Marah besar sekali. Aku tidak pernah melihatnya semarah itu. Matanya tajam, aku sampai takut. Aku tahu kemarahannya bukan tanpa alasan. Dia memergokiku pulang ke rumah bersama Desta, teman se-modellingku. But i swear, i did nothing with Desta. Dia hanya menawari mengantarku pulang karena saat itu Fatra bilang tidak bisa menjemputku. Ternyata Fatra berbohong. Dia berada di rumahku untuk menyiapkan surprise karena hari itu hari ulang tahunku.

Aku maklum kalau dia marah. Dia memang orang yang sangat cemburuan. Bahkan terkadang kecemburuannya itu mengalahkan logikanya sendiri. Dan hari itu, di saat aku seharusnya bahagia merayakan hari ulang tahunku, i broke up with him. Memang aku yang memutuskannya karena aku benar-benar benci melihatnya membentakku seperti itu. Tapi kenapa sekarang seakan karma itu berlaku ya?

“AAAAAAA YUZAAAAAAA!!!”

Lamunanku buyar seketika. Teriakan teman-temanku ini benar-benar luar biasa. Aku mengusap-usap telingaku yang berdengung. Seperti ada ratusan lebah berada di dalamnya.

“Eh, Niar, fotoin kita dong!” ujar Dea sambil menyerahkan i-phonenya. Aku menghela nafas panjang sebelum meraihnya. Kebiasaan deh mereka.

Teman-temanku ini benar-benar aneh. They’re a big fans of Yuza—siswa dari kelas IPA 6, kapten tim football di sekolahku, dan ehm, aku akui, lumayan ganteng. Sangking ngefansnya, mereka sampai membuat fans club bernama “Yuza holic”. Dan lebih gilanya, setiap kali Yuza bertanding, mereka selalu setia berada di pinggir lapangan, berteriak sekuat tenaga untuk mensupport dan rela panas-panasan. Bahkan saat Yuza bertanding di kompleksnya dalam rangka 17 Agustusan pun mereka setia mendampinginya. Is that a crazy thing, right?

CEKREK! CEKREK! CEKREK! Tiga buah foto yang sempurna untuk penggemar berat Yuza. Semoga mereka puas.

“Eh, gue kesana dulu ya,” kata Yuza pamit dari fans-fansnya. Dia sempat tersenyum padaku dan aku membalasnya. Di sebelahnya berdiri seorang cewek tomboy bertubuh mungil. Wajahnya cemberut saat teman-temanku minta foto eksklusif bersama Yuza. Siapa ya dia? Ehm, maybe his girlfriend.

“Hey, Fatra!”

Deg! Jantungku rasanya mau copot saat mendengar nama itu disebut. Yuza yang masih berada di dekatku yang memanggilnya. Entah kenapa aku refleks menoleh kearah Fatra. Dan saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mataku bertemu dengan matanya.

***

“Heh, Yuza bangun! Daffa tuh tampil!” teriak Killa di telingaku.

Suara cemprengnya yang keterlaluan langsung membuka mataku yang terasa baru beberapa menit terlelap. “Hah? Serius?”

“Iya, yaudah yuk kesana!” Killa menarik tanganku kasar. Cewek ini kecil-kecil tarikannya kenceng, Men. Bakat taekwondonya benar-benar mendarah daging.

Sebenarnya aku malas ke depan panggung. Rame, pengap, rusuh. Kenapa sih Daffa mesti ikut acara ginian? Aku tahu dia ingin memajukan nama bandnya. Tapi, hey, bukan disini wadahnya. Sepertinya daritadi aku perhatikan, band-band yang tampil cuma alay-alay yang sok ngerti musik. Bukannya ngeremehin, tapi gimana ya? Ah sudahlah.

“Kita ke depan yuk!” ajak Killa dan hampir menarikku lagi andai aku tidak buru-buru menolaknya.

“Gue ke Fatra aja deh! Tuh, dia disana!” kataku yang merasa beruntung menemukan sobat kentalku itu di tengah kerumunan. Setidaknya aku bisa terlepas dari cewek ini.

“Ah, kesana aja yuk, Za. Lebih deket lebih asik,” Tuh kan, mulai deh maksa-maksa nggak jelas.

“Nggak ah, gue kesana aja. Lagian...,” belum sempat aku memberi alasan, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan yang entah berasal dari mana.

“AAAAAAA YUZAAAAAAA!!!” Ya Tuhan, tidak bisakah hidupku tentram, damai, aman, sentosa barang sebentar saja?

Segerombolan cewek menghampiriku. Aku mengenal cewek-cewek ini. Mereka selalu ada dimanapun aku berada, berteriak lalu membuat ulah-ulah yang kadang aku tidak mengerti esensinya. Entahlah, apa yang membuat mereka kesurupan seperti ini.

“Yuza, foto dong pleaseee! Ntar gue jadiin DP BBM, avatar, profil picture di FB, skype, MSN, YM, ah pokoknya semua deh! Ya? Ya?” kata salah satu cewek yang aku kenal bernama Tania. Ucapannya pun diangguki teman-temannya.

Kalau sudah begini apa boleh buat. Daripada aku digentayangi mereka sepanjang hari. Aku pun menyanggupi permintaan mereka dan mereka langsung loncat kegirangan.

“Eh, Niar, fotoin kita dong!” pinta Dea pada seseorang bercadigan pink yang sedang menghadap ke arah panggung.

Seseorang itu berbalik badan dan detik itu juga jantungku seakan berhenti berdetak. Sial! Seseorang itu... Daniar Elisia Putri.

Aku merutuki diriku sendiri. Sindrom ketemu cewek itu muncul lagi. Deg-degan, merinding, panas dingin, dan lain-lain. Semoga kecupuan ini tidak terlihat dimata Niar. Malu gila!

Niar menerima permintaan teman segengnya. Entah dengan ikhlas atau karena terpaksa, dia akhirnya memotret kami. Ya Tuhan, cantiknya keterlaluan. Aku bersyukur Tuhan bersedia menciptakan makhluk sesempurna ini di tengah cewek-cewek sok cantik dan kecentilan yang ada di dunia ini.

Entah sejak kapan aku mulai menyukainya. Mungkin, sejak pertama kali Fatra mengenalkannya padaku. Ya, dulu Niar memang pacar Fatra. Tapi saat itu aku masih bisa mengontrol diri, mungkin karena aku tidak mau dianggap makan teman. Dan saat kabar mereka putus beredar, ketidaknormalan ini mulai muncul. Niar seakan menjadi hantu yang membayangi kemanapun aku berada.

Yang aku tahu, dia adalah salah satu model dari agency ternama di Indonesia. Akhir-akhir ini wajahnya juga sering menghiasi layar kaca. Entah di video clip, iklan, atau ftv-ftv. Posturnya yang tinggi langsing, wajah blasteran Jawa-Uzbekistan, dan bakat di bidang entertaiment membuatnya pantas muncul dimana-mana. Nikkita Willy mah lewat!

“Eh, gue kesana dulu ya,” kataku pamit pada cewek-cewek ini setelah puas berfoto. Sebelum pergi, aku coba mencuri senyum pada Niar. Dan wohooo, dia balas tersenyum. Astaga... rasanya pengen salto, khayang, roll depan, roll belakang dalam satu gerakan sekaligus.

But, keep calm, Yuza! Stay cool is the best way to attract her attention.

***

Akhirnya hari ini datang juga. Festival band indie yang diadakan sekolahku, SMA Negeri 1 Bekasi atau yang biasa disingkat Smansasi. Ini pertama kalinya band-ku tampil. Setelah melewati audisi internal antar band-band dalam sekolah, hari ini, kami—The Luzea—tampil mewakili sekolah kami dalam festival band indie se-Jabodetabek. Sebuah pencapaian yang luar biasa menurutku karena band ini baru dibentuk 2 bulan yang lalu.

And this is the time. “Hello Smansasi, MANA SUARANYAAAAAA???”

God, please bless us now. Sumpah ini deg-degannya parah. Aku melirik 3 temanku yang lain. Tara, sang drummer sedari tadi menghentak-hentakkan kakinya. Galang, bassist andalan kami ini sudah menghabiskan 1 kotak tissue untuk mengusap keringatnya. Dan Po, si vokalis bersuara ngebass ini bolak-balik meminum air mineral, entah karena haus atau memang ginjalnya bocor. Inilah bentuk kenervousan kami.

Mau tidak mau, life must go on, right? Dan sekarang kami sudah diatas panggung. Aku bisa melihat semua dari atas sini. Ada rasa bangga terselip diantara rasa-rasa lain yang bercampur aduk tidak karuan.

“The Luzea, band asal SMA 1 Bekasi ini katanya baru pertama kali tampil diatas panggung. Bagaimana rasanya bisa digambarkan?” tanya si MC basa-basi.

Aku membiarkan Po yang menjawab semua pertanyaan MC. Mataku mencoba mencari-cari dua orang yang aku harapkan berada di kerumunan itu. Ah, itu mereka. Fatra dan Yuza. Mereka adalah sahabat paling kampret sedunia. Pasalnya, merekalah yang paling tidak percaya kalau bandku bisa lolos audisi internal kemarin. But now, aku buktikan di panggung ini.

“DAFFAAAAA!!!” teriakan cempreng yang aku kenal itu membuatku mengalihkan pandangan ke satu sosok mungil yang berdiri disamping Yuza. Namanya Killa. “DAFFAAAAA!!!” sekali lagi dia berteriak sembari melambaikan tangan.

Aku tersenyum menandakan bahwa aku melihatnya. Tapi dia tetap melambaikan tangan, kali ini ditambah loncat-loncat. Haha. Lucu sekali dia. Gayanya yang tomboy kadang tidak cocok dengan sifatnya yang masih kekanak-kanakan. Aku sudah pernah bilang padanya. Dan dia tidak perduli omonganku.

Aku tahu, yang dia perdulikan memang hanya Yuza. Dia selalu cerita panjang lebar tentang Yuza. Apapun. Bahkan dia bisa cerita berulang-ulang sampai aku bosan mendengarnya. Inilah nasib menjadi abang-abangan.

Tapi biarlah seperti ini, aku merasa menjadi abang-adek adalah hal yang paling tepat untuk bisa dekat dengannya. Apalagi setelah insiden penolakan itu, bisa sedekat inipun menjadi hal yang luar biasa. Ya, aku memang pernah menembak Killa dan dia menolakku mentah-mentah.

And now, this is the song from Goo Goo Dols, Iris,” kata Po mengawali aksi kami diatas panggung.

Aku memulai dengan petikan gitarku. Suara gaduh itupun berubah sunyi. Lalu Po masuk ke dalam musik dengan suara baritonnya, perlahan tapi pasti. Aku rasakan seluruh penonton hanyut dalam lagu ini.

And I’d give up forever to touch you.
Cause I know that you feel me somehow.
You're the closest to heaven that I'll ever be.
And I don't want to go home right now

Dari atas sini, aku bisa melihat semuanya. Aku bahkan melihat yang seharusnya tidak terlihat. Seperti saat Yuza mencuri pandang ke arah Niar. Aku tahu Yuza bukan tipe orang yang suka mengumbar masalah pribadinya. Dia yang paling pendiam dan jarang bercerita diantara aku dan Fatra. Tapi dari tatapannya itu jelas sekali terlihat dia menyimpan “sesuatu” pada cewek cantik itu.


And all I can taste is this moment
And all I can breathe is your life
And sooner or later it's over
I just don't wanna miss you tonight


Sayangnya, perhatian Yuza bertepuk sebelah tangan. Ternyata Niar masih menyimpan kenangan-kenangannya bersama Fatra. Bukannya aku sok tahu. Tapi aku sempat melihat pandangannya stuck pada Fatra. Beberapa kali senyumannya terkembang ringan, padahal Fatra tidak meliriknya sama sekali.


And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understand
When everything's meant to be broken 
I just want you to know who I am


Aku tahu, Fatra memang sudah melupakan semua kenangannya bersama Niar. Dia merasa sudah cukup sakit hati atas perlakuan Niar padanya dulu. Dan sekarang, perhatiannya teralih pada seorang gadis. Teman masa SDnya. First lovenya. Namun sayang, gadis itu sudah menjadi milikku. Dia adalah perempuanku. Gia.

Aku cukup respect dengan keberanian Fatra yang jujur padaku bahwa dia menyukai Gia. Dia mengatakan kalau dia akan sportif dan tidak akan mengganggu hubunganku dengan Gia. Aku percaya padanya.


And you can't fight the tears that ain't coming
Or the moment of truth in your lies
When everything feels like the movies
Yeah you bleed just to know you're alive


Dan Gia, dia memberikan hatinya dengan sempurna padaku. Ya, hanya padaku. Dengan keadaan seperti ini bukannya aku merasa senang, tapi justru aku merasa bersalah. Aku seringkali merasakan ada getar-getar cemburu pada Gia saat aku berdekatan dengan Killa. Tapi Gia tetap diam dan hanya diam. Dia tidak pernah mengungkapkan apapun yang dia rasakan. Sifat Gia memang setipe dengan Yuza. Perbedaannya, aku masih bisa membaca yang dirasakan Yuza lewat gelagatnya, sedangkan Gia sama sekali tidak menunjukkan apa-apa. Aku tidak tahu pasti dia cemburu atau tidak. Semoga saja hanya feelingku.

“DAFFAAAA!!!” teriakan cempreng itu memecah konsentrasiku. Bahkan dalam suara berisik seperti inipun aku masih bisa mendengar teriakannya.

Ini juga yang tidak aku tahu pasti. Sebenarnya apa yang aku rasakan pada Killa. Rasanya aneh. Aku menyayanginya, tapi tidak seperti rasa sayangku pada Gia. Ini dua rasa yang berbeda. Aku sudah mencoba berulang kali untuk menyayanginya seperti seorang kakak pada adiknya. Tapi bukan begini rasanya. Aku juga pernah mencoba menjauhinya, namun hasilnya nihil. Aku justru semakin terbayang-bayangi oleh sosoknya.

I just want you to know who I’am.
I just want you to know who I’am.
I just want you to know who I’am.

Dari sini aku mulai menyadari. Bahwa kami sudah terjebak dalam segienam tak berujung. Dan entah sampai kapan akan seperti ini.


THE END

Selasa, 13 Maret 2012

Tembok Besar itu Bernama "Ketakutan"

Saya seorang pemimpi. Bahkan saya abadikan dalam email saya untuk blog ini (coretansangpemimpi.blogspot.com). Kalau mau dijabarkan dalam point-point, beginilah mimpi-mimpi saya:

1. Saya ingin selesaikan studi saya di fakultas kedokteran dengan nilai yang sangat memuaskan

2. Saya ingin berbisnis dibidang clothes and accessories dengan seluruh design karya saya sendiri

3. Saya ingin membangun sebuah rumah untuk saya dan keluarga saya tempati dengan hasil jerih payah saya sendiri.

4. Saya ingin menulis sebuah buku yang menginspirasi banyak orang

5. Saya ingin naik haji serta menghajikan ayah ibu saya

6. Saya ingin lancar berbahasa inggris

7. Saya ingin mendapatkan beasiswa, apapun bentuknya

8. Saya ingin mengambil spesialist obsgyn di FKUI

9. Saya ingin ke negara 4 musim, melihat salju, dan kuliah disana.

10. Saya ingin tinggal di Bandung

Inilah mimpi terbesar dalam hidup saya. Masih banyak mimpi-mimpi kecil lain yang tidak saya sebutkan. Tapi apalah arti mimpi kalau tidak dibarengi usaha dan doa. Ya, saya sadar itu.

Sayangnya, saya menyadari satu hal. Ada tembok besar yang menghalangi langkah saya. Tembok besar itu bernama "ketakutan".

Saya takut memulai hal yang baru. Saya takut keluar dari garis yang secara tidak sadar saya buat sendiri. Saya takut kecewa. Saya takut terjatuh untuk yang kesekian kalinya. Dan ketakutan akut ini lambat laun berubah menjadi sebuah kemalasan. Kemalasan kronis yang jika tidak diobati secara perlahan mulai dari sekarang akan berdampak negatif pada mimpi-mimpi saya diatas.

Ya Allah, saya tidak ingin membunuh mimpi saya. Karena jika saya membunuh mimpi saya, secara otomatis saya juga akan membunuh diri saya sendiri. Bukankah manusia tanpa mimpi itu sama saja dengan mati?

Coba bayangkan jika kalian tidak punya mimpi, tidak akan ada perubahan dalam hidup kalian. Sebagai contoh, saya baru saja bertemu dengan penjual somay keliling di kompleks saya. Beliau sudah berdagang somay sejak saya masih duduk di bangku SD. Somaynya memang enak. Tapi lihatlah hidupnya. Dari saya berumur 9 tahun sampai sekarang hampir menginjak 20 tahun, pekerjaannya tetap berdagang somay keliling. Tidakkah dia menginginkan perubahan? Lalu jika tetap seperti itu hidupnya salah siapa? Salah takdir?

Yang membuat takdirnya seperti itu adalah dirinya sendiri. Allah berfirman, "Tidak akan berubah suatu kaum melainkan karena dirinya sendiri". Allah tidak pernah melihat hasilnya, tapi Allah melihat usahanya. Seberapa besar usaha manusia itu, maka Allah akan memberikan hasil yang setimpal dengan usaha yang dikerahkan.

Kalau saya buat kesimpulan, beginilah konsep bermimpi yang tepat: "Tulislah mimpi sebanyak-banyaknya, usaha + doa, lalu ikhlaskan hasilnya pada Tuhan yang Maha Esa"

Memang bicara lebih mudah daripada prakteknya, saya akui itu. Tapi mulai dari sekarang saya akan berusaha, walau  perlahan tapi pasti, untuk meraih apa yang saya impikan sejak dulu. Mungkin bisa dimulai dengan merobohkan tembok itu :)


Minggu, 04 Maret 2012

Quote

"JANGAN PERNAH REMEHKAN IMPIAN
WALAU SETINGGI APAPUN.
SUNGGUH TUHAN MAHA MENDENGAR"



MAN JADDA WAJADA
Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil
- A. Fuadi -