Sabtu, 12 Mei 2012

Jika Takdir Sudah Bicara


Tidak ada yang tidak mungkin. Aku percaya kalimat itu. Pasalnya, Tuhan sudah menggariskan takdir pada setiap ciptaan-Nya bahkan sebelum yang diciptakan tersebut lahir ke dunia. Termasuk keberadaan kamu dihidupku.

Aku tahu Tuhan punya maksud mempertemukan kita. Walaupun rasanya menyakitkan, tapi percayalah, di setiap rencana-Nya adalah yang terbaik untuk kita. Mungkin dengan cara seperti ini Tuhan ingin memperingatkan kita. Kita sudah lalai, Sayang. Sudah berapa lama kita menghapus “Tuhan” dalam ingatan kita?

Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki kesalahan. Karena Tuhan Maha Pengampun.

***

“PERGI KAMU DARI RUMAH SAYA!!! SAYA TIDAK PERNAH MENGIZINKAN GEMBEL MACAM KAMU MENGINJAKKAN KAKI LAGI DI RUMAH INI!!!”

“Tapi, Pa, dia berniat baik kesini,”

“BERANI-BERANINYA YA KAMU MEMBELA DIA!!!”

“Dia mau melamar Gyka, Pa,”

“APA??? MELAMAR??? HAHAHA. PUNYA APA DIA BERANI NGELAMAR KAMU???”

“Saya memang nggak punya apa-apa, Om. Tapi...,”

“TAPI APA??? MODAL CINTA ITU NGGAK CUKUP BUAT MEMBANGUN SEBUAH RUMAH TANGGA!!! MAU KAMU KASIH MAKAN APA ANAK SAYA KALAU KAMU SUDAH MENIKAH NANTI???”

“Saya juga belum tahu, Om. Tapi yang jelas saya harus menikahi anak om secepatnya,”

“GILA KAMU YA???”

“Pa, dia memang harus menikahi Gyka,”

***

Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Rasanya pas sekali dikombinasikan dengan pikiranku yang sedang semerawut seperti benang kusut. Untungnya ada kamu disini. Setidaknya ada yang bisa menyelamatkanku jika nanti aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri.

“Mau roti?” tawarmu padaku memecah kesunyian. Sebungkus roti coklat seharga Rp. 2500,- itu kamu sodorkan padaku.

Aku mengangguk. Perutku ini memang sudah merengek sejak tadi pagi. Akhirnya baru malam ini aku bisa memasukkan sedikit makanan ke dalamnya. “Dapat duit darimana?”

Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba kamu menatapku. Aku hafal tatapan itu. Tatapan yang seolah berkata bahwa kamu tidak suka diinterogasi. Sayangnya aku memang harus mempertanyakan itu. “Halal kok!” jawabmu ketus.

Hening pun kembali merasuk. Hanya terdengar suara berisik dari beberapa orang yang lalu lalang dan suara kereta terakhir jurusan Depok-Bekasi yang baru saja transit di stasiun ini. Aku jadi ingat saat pertama kali bertemu denganmu. Di kereta ekonomi jurusan Depok-Bekasi itulah takdir mempertemukan kita.

***

“DASAR ANAK NGGAK TAU DIRI!!! DIAJARIN SIAPA KAMU BERBUAT SEPERTI ITU??!!!”

“Maafin Gyka, Pa...,”

“PAPA KECEWA SAMA KAMU GYKA!!! BERANI-BERANINYA KAMU BERBUAT SERENDAH ITU!!!”

“Om, ini bukan salah Gyka,”

“LANTAS SALAH SIAPA??? KAMU MAU BILANG KEJADIAN INI KARENA NGGAK SENGAJA??? KAMU PIKIR SAYA BEGO!!! BRENGSEK!!!”

GDEBUUGGG!!!!

“PA!!! TOLONG JANGAN PUKULIN GAKA!!! GYKA YANG SALAH!!! PUKUL GYKA AJA, PA!!!”

“MULAI SEKARANG KAMU BUKAN ANAK SAYA!!! PERGI KAMU DARI SINI!!! PERGI KALIAN!!!”

***

Jam menunjukkan pukul 21.00. Aku telat pulang lagi. Ini gara-gara dosen statistik yang sukanya datang telat. Alhasil, kuliah sampai ngaret 1 jam. Untungnya kereta terakhir masih bisa ke kejar.

It’s a beautiful night
We’re looking for something dumb to do.
Hey baby, i think i wanna marry you...

Handphone-ku berdering. Tertera di layar “Papa sayang”.

“Halo, Pa,”

“Nak, dimana kamu?”

“Gyka baru pulang nih, Pa. Kuliah terakhir ngaret jadinya Gyka pulang agak malem,”

“Oh, ya sudah, hati-hati ya di jalan,”

“Oke, Papa Sayang,”

Klik! Telpon terputus. Papa memang selalu seperti ini semenjak mama meninggal. Khawatirnya terlalu berlebihan. Apalagi aku adalah anak satu-satunya yang dimiliki papa, perempuan pula. Wajar sih kalau papa over protective seperti ini.

“It’s a beautiful night, we’re looking for something dumb to do. Hey baby, i think i wanna marry you... Permisi, Mbak, Mas,

Seorang pengamen tiba-tiba mendekatiku. Tubuhnya kurus, tinggi dan sangat dekil. Rambutnya ikal diikat ke belakang. Wajahnya oval dengan struktur rahang yang sangat tegas. Dengan berbekal gitar kotornya itu dia melanjutkan lagu Bruno Mars kesukaanku. Suaranya enak juga.

“Permisi, Mbak,” lelaki kucel itu mengulurkan tangannya padaku.

Aku merogoh dompet dan mengambil uang Rp 2000,-. “Suaranya enak, Mas,”

Mendengar pujianku, ekspresinya terlihat agak kaget. Mungkin selama dia ngamen belum pernah ada orang yang memujinya. “Oh, ehm... makasih, Mbak,” ucapnya sambil tersenyum malu.

“Besok nyanyi disini lagi ya, Mas. Kalo memang ditakdirkan, saya pasti bisa melihat Mas nyanyi lagi,”

***

“Kamu habis apain aku, Ka? Kita berbuat apa semalam?”

“Aku nggak tau, Gy. Aku nggak ingat apa-apa,”

“Ka, aku takut,”

“Maafin aku, Gy. Pikiranku lagi kacau. Aku mabuk semalam,”

“Aku harus bilang apa sama papa?”

“Nggak akan terjadi apa-apa kok, Sayang,”

***

Malam semakin larut. Stasiun sudah sepi pengunjung. Aku mendengar kamu menangis lagi. Aku hanya pura-pura tidur. Kamu memang tidak pernah cerita apa-apa tentang semua masalahmu, tentang apa yang mendesak di dadamu. Dan aku tidak pernah memaksamu untuk cerita. Mungkin hanya dengan menangis kamu bisa lega.

Semoga cerita kita ini berakhir bahagia. Itulah harapan yang selalu aku selipkan dalam setiap doaku sebelum tidur pada Tuhan.

***

Tanganku meraba-raba alas tidurku. Eh, kenapa strukturnya lembut ya? Aku buru-buru membuka mata. Kasur? Kenapa aku ada di kasur? Seingatku semalam aku masih tidur di aspal.

“Selamat pagi, Sayang,”

Mataku langsung teralih pada sosok di depan pintu. Sosok yang sudah lama tidak aku temui. Walaupun sudah lama tidak bertemu, tapi aku masih hafal wajahnya yang teduh dengan senyumnya yang selalu membuatku nyaman berada di dekatnya. “Papa?”

“Nih, papa bawain susu dan roti kesukaan kamu,” tangannya menyodorkan meja lipat berisi susu dan setumpuk roti tawar.

Aku merasa canggung dengan semua ini. Sepertinya aku sudah terbiasa tidak makan seharian. “Gaka mana, Pa?”

Ekspresi papa yang ceria pun berubah 180⁰. Pasti sebentar lagi beliau akan marah. “Gaka nitipin surat ini buat kamu,” ucap papa sambil menyerahan sepucuk surat tanpa amplop dari dalam saku celananya. Ternyata papa nggak marah sama sekali. Ada apa ini?

Aku mengambil surat itu dengan perasaan yang tidak karuan.

***

Dear Gyka,

Tidak terasa ya sudah terlalu jauh kita melangkah. Aku merasa keadaanku semakin membaik dengan kehadiranmu. Tapi disaat yang bersamaan pun aku merasa keadaanmu malah semakin memburuk.

Kamu tau nggak rasanya? Rasanya sakit, Gy. Aku tidak bisa perkirakan seberapa besar rasa sakit ini melihat kamu harus tidur dibawah atap stasiun dan hanya makan jika aku punya uang. Kamu tidak pantas mendapatkan ini. Pertama kali aku bertemu denganmu, aku melihatmu sebagai anak kuliahan yang ceria dan begitu mempesona. Aku ingin melihat keceriaan itu lagi. Mungkin dengan kembali ke rumahmu adalah solusinya.

Maaf aku harus pergi, Sayang. Aku sendiri tidak tahu kapan akan kembali. Jika takdir berpihak padaku, mungkin kita bisa bertemu lagi. Itu kan yang selalu kamu agungkan dari kata “takdir”? Takdir Tuhan itu tidak pernah salah. Aku percaya itu kok.

Oh iya, titip anak kita ya. Kalau sudah lahir nanti jaga dia baik-baik. Aku menyayangimu.

Gaka.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar