Sore ini, seharusnya cahaya
orange yang merambat memasuki jendela kamarku. Tapi awan hitam menutupinya dan
membuat segala sesuatunya menjadi lebih gelap. Anehnya, ada perasaan bahagia
yang mencuat setiap kali aku melihat mendung membungkus matahari. Itu artinya
hujan akan segera turun. Dan itu juga berarti dia akan segera muncul.
Yah... setidaknya dalam pikiranku
sendiri.
***
5 tahun yang lalu...
Hujan turun tidak terlalu deras.
Aku menikmati setiap rintiknya sambil membekap tanganku dalam saku jaket.
Dinginnya sungguh luar biasa. Kalau saja besok tidak ada ujian statiska, pasti
aku sudah menerobos hujan sedari tadi. Mungkin terdengar sedikit
kekanak-kanakan, tapi aku suka hujan-hujanan. Membiarkan setiap tetesnya jatuh
diatas kepalaku adalah salah satu caraku mencintai hujan. Aku suka hujan.
Sangat suka.
Cekrek!
Aku menoleh dan mendapati seorang
lelaki yang lebih tinggi dua jengkal dariku sedang memainkan kamera canonnya. Posisi
berdirinya tidak jauh dariku. Mungkin hanya satu meter.
Cekrek!
Dia memotret sekali lagi. Dua
kali. Tiga kali.
“Kamu suka hujan?”
Sekilas aku melihat ekspresi terkejut
dari wajahnya, lalu dia menoleh. Dingin, itulah kesan pertama yang aku tangkap
dari mimik mukanya saat menatapku untuk kali pertama. Ada jeda hening yang
cukup lama sampai akhirnya dia membuka mulut.
“Suka banget,” jawabnya singkat lalu
kembali asyik memotret sesuatu diatas kepalanya. Mataku mengikuti arah bidikan
lensanya. Genteng.
Keningku berkerut. “Kok hujannya
di foto?” Baru kali ini aku menemukan seseorang yang sebegitu sukanya sama
hujan sampai diabadikan dalam lensa kamera.
“Biar bisa ngelihat hujan setiap
hari,”
“Kenapa nggak dirasain aja?” Aku
memejamkan mata dan mulai merasakan jiwaku bersatu dengan hujan. “Ngerasain
hujannya harus pake hati. Rasanya tenang, damai, semua masalah seakan tiba-tiba
menghilang. Terus tarik nafas perlahan. Cium bau hujan. Hmmm... rasanya seperti
kembali hidup,”. Aku membuka mata dan mendapati dia memperhatikanku dengan
seksama. Aduh, jadi malu.
Dia tersenyum, aku pun meralat
perkataanku bahwa dia adalah manusia dingin. Dia nggak dingin, tapi sejuk.
Senyumnya teduh. “Setiap orang punya cara masing-masing buat nikmatin hujan,”
“Ah, aku setuju banget!”
“Kamu mau tahu nggak cara lain
yang asyik buat nikmatin hujan?”
“Emang gimana?”
“Minum teh susu hangat. Mau coba?”
“Sekarang?”
“Mumpung masih hujan,”
Detik berikutnya meluncur di luar
perkiraanku. Aku baru mengenalnya. Namanya Adit. Dia anak jurusan teknik sipil yang
kampusnya bersebelahan dengan kampusku. Hobbynya fotografi dan hujan adalah
objek kamera favoritenya. Menurutnya, hujan dan teh susu hangat adalah
kolaborasi paling top yang nggak ada tandingannya. Dan aku setuju setelah mencobanya
di cafetaria kampus bersamanya.
Aku nggak nyangka, hujan akan
mengikat kami sedemikian dekat. Walaupun beda kampus, tapi saat hujan turun,
dia rela berlari menuju kampusku dan mencariku. Lalu kami ngobrol dan membicarakan
apa saja sambil menikmati secangkir teh susu hangat. Begitu seterusnya. Hujan seakan
sudah menjadi sinyal bahwa kami harus bertemu.
Sampai suatu ketika hujan kembali
turun...
Aku mengaduk-aduk teh susu
hangatku sambil meresapi “rasa hujan” yang begitu nikmat. Tiba-tiba sebuah
pesan singkat masuk ke dalam handphoneku.
Sender: Hujanku
Maaf telat, Sayang. Masih ada dosen nih. Diluar hujan ya? Cieee, pasti
kamu kegirangan deh.
Seketika itu juga aku memandang
hujan. Entah kenapa sebersit senyum terbit dari dasar hatiku. Aku tahu,
hujanlah yang membawa kebahagiaan itu. Tanganku merogoh sesuatu dalam tas. Sebuah
note dengan pulpen yang aku selipkan di ulirnya. Jemariku pun mulai menari diatas
kertas yang masih suci.
Aku menyebutnya hujan.
Bulirnya meneduhkan bahkan sampai ke relung yang
terdalam
Bersamanya aku menemukan duniaku
Bolehkah
aku menyimpannya?
Setidaknya untuk ku kenang sendiri.
“Raina!”
Mendengar namaku dipanggil, mataku
langsung teralih pada sumber suara. Aku terkejut sepersekian detik.
“Adit!”
Dia tersenyum. Senyum yang sama seperti
saat kami bertemu. Senyum teduh yang mampu menghujaniku dengan berjuta-juta
kekaguman. Tapi bedanya, kali ini senyum itu bukan untukku.
“Kamu udah nunggu lama ya? Maaf
banget ya, tadi dosennya ngaret,”
“Nggak papa kok. Nih, aku udah
pesenin kopi kesukaan kamu,”
“Terima kasih, Sayang,”
Aku tersenyum lalu melirik
beberapa senti ke arah meja di belakang mejaku. Dia disana, masih dengan teh
susu hangatnya. Ada suara gelak tawa perempuan yang terdengar membaur dengan bunyi hujan.
Sepertinya, dia sudah menemukan “hujan”nya. Begitu juga dengan diriku.
Tiba-tiba dia memiringkan
kepalanya sedikit dan mata kami bertemu pada satu titik. Jujur, saat itu degup
jantungku mulai kacau. Lalu dia menarik bola matanya ke atas—ke arah hujan, dan kembali
menatapku pada detik berikutnya. Entah atas sinyal apa, kami tersenyum berbarengan.
Ah, aku tahu, itu sinyal dari
hujan.
Bukankah hujan yang membuatku
menemukannya?
***
“Kalau hujan, jangan galau mulu!”
“Dih, siapa yang galau?”
“Lah, itu, ngapain kamu berdiri
dipinggir jendela?”
“Aku cuma inget kita waktu dulu,”
“Kenapa? Dulu aku ganteng ya?”
“GR! Sini teh susunya!”
“Nih! Dua cangkir teh susu hangat
plus suara hujan, romantis banget ya? Happy
anniversary, Raina! I love you,”
“Love you too, Adit!”
-THE END-