Kamis, 25 Oktober 2012

Sinyal Hujan




Sore ini, seharusnya cahaya orange yang merambat memasuki jendela kamarku. Tapi awan hitam menutupinya dan membuat segala sesuatunya menjadi lebih gelap. Anehnya, ada perasaan bahagia yang mencuat setiap kali aku melihat mendung membungkus matahari. Itu artinya hujan akan segera turun. Dan itu juga berarti dia akan segera muncul.

Yah... setidaknya dalam pikiranku sendiri.

***

5 tahun yang lalu...

Hujan turun tidak terlalu deras. Aku menikmati setiap rintiknya sambil membekap tanganku dalam saku jaket. Dinginnya sungguh luar biasa. Kalau saja besok tidak ada ujian statiska, pasti aku sudah menerobos hujan sedari tadi. Mungkin terdengar sedikit kekanak-kanakan, tapi aku suka hujan-hujanan. Membiarkan setiap tetesnya jatuh diatas kepalaku adalah salah satu caraku mencintai hujan. Aku suka hujan. Sangat suka.

Cekrek!

Aku menoleh dan mendapati seorang lelaki yang lebih tinggi dua jengkal dariku sedang memainkan kamera canonnya. Posisi berdirinya tidak jauh dariku. Mungkin hanya satu meter.

Cekrek!

Dia memotret sekali lagi. Dua kali. Tiga kali.

“Kamu suka hujan?”

Sekilas aku melihat ekspresi terkejut dari wajahnya, lalu dia menoleh. Dingin, itulah kesan pertama yang aku tangkap dari mimik mukanya saat menatapku untuk kali pertama. Ada jeda hening yang cukup lama sampai akhirnya dia membuka mulut.

“Suka banget,” jawabnya singkat lalu kembali asyik memotret sesuatu diatas kepalanya. Mataku mengikuti arah bidikan lensanya. Genteng.

Keningku berkerut. “Kok hujannya di foto?” Baru kali ini aku menemukan seseorang yang sebegitu sukanya sama hujan sampai diabadikan dalam lensa kamera.

“Biar bisa ngelihat hujan setiap hari,”

“Kenapa nggak dirasain aja?” Aku memejamkan mata dan mulai merasakan jiwaku bersatu dengan hujan. “Ngerasain hujannya harus pake hati. Rasanya tenang, damai, semua masalah seakan tiba-tiba menghilang. Terus tarik nafas perlahan. Cium bau hujan. Hmmm... rasanya seperti kembali hidup,”. Aku membuka mata dan mendapati dia memperhatikanku dengan seksama. Aduh, jadi malu.

Dia tersenyum, aku pun meralat perkataanku bahwa dia adalah manusia dingin. Dia nggak dingin, tapi sejuk. Senyumnya teduh. “Setiap orang punya cara masing-masing buat nikmatin hujan,”

“Ah, aku setuju banget!”

“Kamu mau tahu nggak cara lain yang asyik buat nikmatin hujan?”

“Emang gimana?”

“Minum teh susu hangat. Mau coba?”

“Sekarang?”

“Mumpung masih hujan,”

Detik berikutnya meluncur di luar perkiraanku. Aku baru mengenalnya. Namanya Adit. Dia anak jurusan teknik sipil yang kampusnya bersebelahan dengan kampusku. Hobbynya fotografi dan hujan adalah objek kamera favoritenya. Menurutnya, hujan dan teh susu hangat adalah kolaborasi paling top yang nggak ada tandingannya. Dan aku setuju setelah mencobanya di cafetaria kampus bersamanya.

Aku nggak nyangka, hujan akan mengikat kami sedemikian dekat. Walaupun beda kampus, tapi saat hujan turun, dia rela berlari menuju kampusku dan mencariku. Lalu kami ngobrol dan membicarakan apa saja sambil menikmati secangkir teh susu hangat. Begitu seterusnya. Hujan seakan sudah menjadi sinyal bahwa kami harus bertemu.  

Sampai suatu ketika hujan kembali turun...

Aku mengaduk-aduk teh susu hangatku sambil meresapi “rasa hujan” yang begitu nikmat. Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk ke dalam handphoneku.

Sender: Hujanku
Maaf telat, Sayang. Masih ada dosen nih. Diluar hujan ya? Cieee, pasti kamu kegirangan deh.

Seketika itu juga aku memandang hujan. Entah kenapa sebersit senyum terbit dari dasar hatiku. Aku tahu, hujanlah yang membawa kebahagiaan itu. Tanganku merogoh sesuatu dalam tas. Sebuah note dengan pulpen yang aku selipkan di ulirnya. Jemariku pun mulai menari diatas kertas yang masih suci.


Aku menyebutnya hujan.
Bulirnya meneduhkan bahkan sampai ke relung yang terdalam
Bersamanya aku menemukan duniaku
 Bolehkah aku menyimpannya?
Setidaknya untuk ku kenang sendiri.

“Raina!”

Mendengar namaku dipanggil, mataku langsung teralih pada sumber suara. Aku terkejut sepersekian detik.

“Adit!”

Dia tersenyum. Senyum yang sama seperti saat kami bertemu. Senyum teduh yang mampu menghujaniku dengan berjuta-juta kekaguman. Tapi bedanya, kali ini senyum itu bukan untukku.

“Kamu udah nunggu lama ya? Maaf banget ya, tadi dosennya ngaret,”

“Nggak papa kok. Nih, aku udah pesenin kopi kesukaan kamu,”

“Terima kasih, Sayang,”

Aku tersenyum lalu melirik beberapa senti ke arah meja di belakang mejaku. Dia disana, masih dengan teh susu hangatnya. Ada suara gelak tawa perempuan yang terdengar membaur dengan bunyi hujan. Sepertinya, dia sudah menemukan “hujan”nya. Begitu juga dengan diriku.

Tiba-tiba dia memiringkan kepalanya sedikit dan mata kami bertemu pada satu titik. Jujur, saat itu degup jantungku mulai kacau. Lalu dia menarik bola matanya ke atas—ke arah hujan, dan kembali menatapku pada detik berikutnya. Entah atas sinyal apa, kami tersenyum berbarengan.

Ah, aku tahu, itu sinyal dari hujan.

Bukankah hujan yang membuatku menemukannya?

***
“Kalau hujan, jangan galau mulu!”

“Dih, siapa yang galau?”

“Lah, itu, ngapain kamu berdiri dipinggir jendela?”

“Aku cuma inget kita waktu dulu,”

“Kenapa? Dulu aku ganteng ya?”

“GR! Sini teh susunya!”

“Nih! Dua cangkir teh susu hangat plus suara hujan, romantis banget ya? Happy anniversary, Raina! I love you,”

Love you too, Adit!”

-THE END-

2 komentar:

  1. Kakaaaak! Ahey malem-malem dapet bonus cerpen bagus tema hujan :3 sayang banget lagi ngga hujan huhu

    Suka banget kaaaaak, bahasa dan alurnya ngalir banget, jadi kurang puas karena ini cuma cerpen. kalo panjangan dikit bikin hati tambah greget kali ya :p #ditimpuk

    waktu itu aku juga pernah nemu orang motret hujan, kak. serius, tapi aku ngga sampe nanya sih dia suka hujan atau ngga. jadi nyesel ngga nanya... #eh #plak

    kak tapi aku bingung. ini dua orang tokoh utamanya tuh jadian ngga sih sebenernya? kalo diliat dari akhir cerita sih kyaknya iya. tapi kalo ditilik dari sebelumnya lagi, kayanya ngga. abis si tokoh ceweknya bilang kalo mereka udah menemukan 'hujan'nya masing-masing :s

    atau mungkin awalnya ngga jadian terus jadian, ya kak? kan takdir hujan udah berkata begitu... #ditimpuk #bawel

    akhir kata, keep writing, kak hani~ ditunggu cerpen lainnya :D

    BalasHapus
  2. hahahaha emang sengaja dibikin bingung ;) awalnya mereka punya "hujan"nya masing-masing, tapi namanya jodoh, who knows kan? aku cuma mau bikin cerpen yang meaningnya "kalo jodoh ga kemana kok" hehehe

    fyi, sebenernya yg suka motret hujan itu akuuu! btw makasih supportnya yaaa adek lucu :3

    BalasHapus