P.s: baca cerita dibawah ini sambil dengerin lagu berikut, biar feelnya dapet :)
“DASAR LELAKI BIADAB!!! KAMU PIKIR SAYA NGGAK BISA HIDUP
TANPA KAMU!!!”
“Oh ya? Coba buktikan! Aku nggak yakin kamu bisa, HAHAHA,”
“BRENGSEK!!!”
“Sudahlah, Ndah. Semua makhluk di bumi ini juga tahu hidup
kamu itu bergantung sama aku,”
“Dari awal seharusnya saya sadar kalau kamu itu PENGECUT!!!”
“Pengecut? Hei, aku tahu kamu juga nggak tahan merawat anak
sial itu!”
PLAK!!!
***
Cekrek!
Aku memutar
ganggang pintu perlahan. Rupanya tidak dikunci. Hatiku jadi semakin cemas tidak
karuan. Pasalnya, tidak biasanya dia menelponku dan menyuruhku segera menuju ke
rumahnya.
Dari luar,
rumah itu terlihat sepi. Jujur, aku selalu mengagumi rumah bergaya minimalis
dengan pemandangan pantai itu. Pekarangannya yang indah, jalanan yang selalu
sunyi, dan suara ombak yang bergemuruh seakan ingin mengajak orang-orang yang
mendengarnya melelapkan diri kedalamnya.
Dan begitu aku
melangkahkan kaki memasukinya, aku terkejut setengah mati. Suasana didalam 180⁰ lebih menakutkan dan mengerikan.
Mungkin benar kata orang, rumah itu penuh misteri yang tidak pernah terpecahkan
sejak berabad-abad lamanya. Gelap. Hening. Sangat berantakan. Yang terdengar
hanya deru ombak memanggil-manggil.
Mataku terus
mencarinya. Jantungku berdegup lebih cepat seperti pelari maraton yang dipaksa
lari 100 putaran stadion Gelora Bung Karno. Gila, ini gila. Bulu kudukku
langsung berdiri. Lututku terasa lemas, padahal aku tidak mengidap arthritis.
Aku berharap dia baik-baik saja. Tapi dia dimana?
Setelah 15
menit aku mengitari isi rumah itu, entah mengapa tiba-tiba langkahku tertuntun
menuju pintu kaca belakang rumah yang tebuka lebar. Seperti ada yang
menarik-narik kakiku dan memberitahu dia ada disana.
Dan ternyata memang
benar. Dia disana. Duduk di ujung sebuah jetty yang terbuat dari kayu menuju
laut lepas yang keindahannya tiada tara. Dia tidak terlihat, hanya tampak
seperti siluet yang membaur dalam sunset. Siluet terindah yang pernah ada di muka
bumi.
Siluet itu
bernama Tasya. Gadis cantik berwajah tirus dengan rambut pendek sebahu. Aku
lupa kapan pertama kali mengenalnya. Yang aku tahu, setiap hari dia mampu
mencuri seluruh memori otakku sampai aku nyaris gila.
Seperti saat
ini.
Aku melewati
pintu kaca itu dan melangkah perlahan dengan perasaan yang campur aduk. Aneh. Ini
semua terlalu aneh. Aku merasa ada yang janggal. Di setiap kayu yang menjadi
pagar pembatas jetty ini terikat balon-balon berwarna putih. Lalu pada kayu
yang aku injak terlihat banyak jejak kaki berwarna merah.
Putih? Merah?
Pertanda apa ini?
Pikiranku
langsung tertuju padanya. “Tasya!”
Dia menoleh. Hening
sesaat. “Sini,” Tangannya menepuk-nepuk kayu disebelahnya pertanda aku harus duduk disana.
“Kamu kenapa disini sendirian?”
“Tasya pengen
lihat sunset,” ada seulas senyum tipis diantara kedua pipinya yang tirus.
Aku tahu, dia
memang pengagum nomer satu fenomena tenggelamnya matahari. Dia selalu cerita,
andai dia punya kesempatan kedua, dia mau terlahir sebagai matahari yang punya
cahaya terbesar segalaxi bimasakti. Tapi menurutku, dia tidak perlu berpikir
demikian.
Karena dia
memang matahari.
“Kamu nggak
papa, kan?” aku serius mengkhawatirkannya.
Hening kembali.
Dia mengayun-ayunkan kaki sampai ujung kakinya menyentuh air laut dan membentuk
gulungan ombak kecil.
“Tasya?”
“Mereka teriak
lagi. Tasya benci mereka,”
Aku tahu siapa
yang dia maksud.
“Mereka jahat!
Sampai kapan mereka mau teriak di depan Tasya? Tasya salah apa? Mereka nggak
perlu sayang sama Tasya. Tasya cuma pengen mereka diem,”
Aku menggenggam
tangannya. Erat. “Kamu jangan takut, ada aku disini,”
“Tasya nggak
takut. Sekarang mereka udah diem kok. Selamanya. Selamanya Tasya nggak bakal denger
suara mereka lagi. Hehehe,”
Keningku
berkerut. “Maksud kamu?”
Tiba-tiba angin
berhembus lebih kencang dari biasanya. Segerombol awan hitam berjalan dan
merusak pemandangan sunset yang begitu indah sore itu. Ditambah suara petir yang
menggelegar membuat suasana menjadi kelabu dalam sekejap.
Dia tersenyum. Senyum
termengerikan yang pernah dia tunjukkan untukku.
“Tasya, apa yang
udah kamu lakuin?”
Dia diam tapi
tatapannya tertuju pada genggaman tanganku. Entah feelingku yang salah atau bagaimana, tapi tatapan itu seakan
menjadi pertanda bahwa jawaban dari pertanyaanku ada disana. Aku melepaskan
genggamanku perlahan.
Merah. Ada
warna merah lagi.
Mataku
terbelalak kaget. YA TUHAN! Ini... ini... “Darah?” aku manatap nanar telapak
tanganku yang berlumuran darah. “Tasya, kamu...?” belum sempat aku bertanya,
dia kembali memberiku kejutan lain.
Tangannya
terayun kedepan. Jari telunjuknya menunjuk sesuatu. Sesuatu disana, di tengah
laut. Mengambang. Terseret ombak kesana kemari. Itu...
Astaga! Itu
manusia! Ya, aku yakin aku tidak salah lihat. Itu manusia. 2 manusia yang sudah
berwujud mayat.
Aku terlonjak
kaget. Refleks aku berdiri dan menjauh dari gadis itu. “Kamu... Kamu membunuh
mereka? Kamu gila, Sya!”
Lagi-lagi dia
tersenyum. Sial! Itu bukan senyum Tasya. Dia pasti sedang dimasuki roh halus. “Apa
kamu bilang? gila? Kamu bilang Tasya gila? Hahaha,” dia bangkit dari tempat
duduknya. Lalu kejutan ketiga muncul dan sukses membuat jantungku terlepas dari
posisinya.
Putih lagi.
Lalu merah. Dress baby doll putihnya
berlumuran darah. Tiba-tiba kakinya melangkah mendekatiku, meninggalkan jejak
berwarna merah. Merah lagi. Lalu putih. Wajah itu memutih. Pucat. “Iya, KAMU
GILA! Ini sudah gila namanya! KETERLALUAN!”
“KAMU YANG
GILA! Belum sadar juga? HAHAHA,” dia tertawa terbahak-bahak seperti mendapatkan
energi petir yang berebut bersahut-sahutan. Bulu kudukku kembali berdiri. Aku
hendak mundur tapi langkahku terpentok pada pagar kayu pembatas jetty. Sial!
Kalau aku mundur selangkah lagi, aku akan jatuh ke laut.
“PERGI! PERGI
KAMU DARI SINI! KAMU EMANG UDAH BENAR-BENAR NGGAK WARAS!”
“Hei, yang
nggak waras itu siapa?” Dia mengepungku. Semakin lama semakin mendekat, sampai tangannya
berhasil membelai pipiku. “Rendy sayang... kamu pikir Tasya nyata?”
“Hah?” keningku
berkerut lagi. Apa-apaan ini?
“Kamu belum
sadar ya kalau kita satu? Tasya itu kamu. Kamu itu ya Tasya. Jiwa kita sama. Kalau
menurut kamu Tasya gila, sesungguhnya kamu yang gila,” kali ini tangannya
mengelus rambutku.
Kepalaku
mendadak sakit. Sakit sekali. Dia pasti melakukannya lagi. Dia hendak mencuri
seluruh memori otakku. Ya Tuhan, tolong hentikan ini! Sakit Sekali... “AAAARRRGGHHH!!!”
Berisik.
............................................
lalu hening.
Pandanganku
mengabur. Semua berputar. Aku tersedot dalam mesin waktu. Lalu aku tersadar.
Sekelilingku sepi. Aku dimana? Putih. Semua putih. Tidak ada apa-apa disana.
Yang ada hanya sebuah layar besar yang sedang memutar sebuah film.
Adegan 1
Sebuah taman.
Tasya disana. Duduk disebuah ayunan dengan wajah yang begitu gembira. Hei, ada
aku juga!
“Kamu mau es
krim?” kataku sambil menyodorkan es krim cone
rasa vanilla.
“Mau!” dia
meraihnya lalu menjilatnya dengan penuh keceriaan. “Hmm, enak,”
Aku
memandangnya. Cukup lama. “Sya, kamu punya mimpi nggak?”
“Punya,”
“Apa?”
“Tasya pengen
jadi matahari,”
“Matahari?”
“Tasya pengen
bercahaya, Ren. Tasya pengen nggak ada orang yang takut gelap lagi karena Tasya,”
Adegan 2
Sebuah ruang
tamu dalam rumah bergaya minimalis. Ada 2 aktor disana. Seorang pria—kekar, berwajah garang, berkumis,
memakai kaos oblong dan jaket kulit dengan seorang wanita yang mungkin 5 tahun
lebih muda dari si pria—cantik,
rambut panjang dan dicepol asal, memakai daster berwana biru langit. Wajahnya
mirip denganku.
“DASAR LELAKI BIADAB!!! KAMU PIKIR SAYA NGGAK BISA HIDUP
TANPA KAMU!!!”
“Oh ya? Coba buktikan! Aku nggak yakin kamu bisa, HAHAHA,”
“BRENGSEK!!!”
“Sudahlah, Ndah. Semua makhluk di bumi ini juga tahu hidup
kamu itu bergantung sama aku,”
“Dari awal seharusnya saya sadar kalau kamu itu PENGECUT!!!”
“Pengecut? Hei, aku tahu kamu juga nggak tahan merawat anak
sial itu!”
PLAK!!! Si wanita menampar si pria. Lalu terdengar suara
tangisan.
Adegan 3
Sebuah pintu
besar. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Kamera menyorot 2 orang sedang
berbincang-bincang di dalam. Seorang lelaki berjas putih dengan seorang wanita
yang tidak terlihat karena membelakangi kamera.
“Dia mengidap
schizofrenia,” kata si lelaki berjas putih.
“Schizofrenia?”
“Ya,
schizofrenia. Sejenis gangguan jiwa yang sangat hebat. Perasaan, pikiran, dan
perbuatannya menjadi terpecah dan telihat tidak serasi. Kadang dia bisa tertawa
padahal hatinya sedang sedih, atau sebaliknya. Terlihat tidak sinkron dan
sering berubah-ubah,”
Hening.
Si wanita
menunduk.
“Bu, apa anak
Ibu pernah berkata bahwa dia melihat sesuatu yang Ibu tidak lihat atau
mendengar sesuatu yang tidak Ibu dengar?”
“Sering, Dok.
Dia sering berkata bahwa dia melihat gadis cantik sedang duduk di ujung jetty
rumah kami setiap sore. Saya juga sering melihat dia seperti berbincang dengan ‘sesuatu’
yang tidak saya lihat,”
“Sudah saya
duga,” lelaki berjas itu menyandarkan punggungnya pada kursi, “Penderita
schizofrenia memang sering mengalami halusinasi. Mereka menciptakan sosok-sosok
sendiri dalam khayalan mereka yang mungkin akan terus menghantui sepanjang
hidup mereka,”
“Apa dia bisa
sembuh, Dok?”
“Bisa, tapi
sulit. Karena...,” kalimat lelaki berjas putih itu menggantung setelah
melihat ke arah kamera.
Beberapa detik
kemudian, si wanita menoleh, mengikuti arah pandangan si lelaki berjas putih.
Ternyata dia wanita yang sama seperti pada adegan kedua.
“Re... Rendy?”
Adegan 4
Lokasi sama
seperti pada adegan kedua. Tapi kali ini di dalam sebuah kamar. Ada aku dan
wanita tadi. Aku terbaring diatas ranjang sedangkan si wanita duduk disampingku
dan mengelus-elus rambutku lembut. Matanya bengkak dan berair.
“Semua akan
segera membaik, Sayang. Ibu akan menjagamu dan tidak akan membiarkan orang lain
membuatmu terluka. Bahkan ayahmu sendiri. Ibu berjanji, selama nafas Ibu masih
berhembus, Ibu tidak akan membiarkan lelaki itu menyentuh dan menyakitimu.
Karena kamu anak Ibu satu-satunya. Anak kebanggaan Ibu. Ibu sayang kamu,”
Wanita itu
mengecup keningku.
Adegan 5
Tasya. Dia
berdiri di ujung jetty. Angin membuat rambut dan dress baby dollnya bergerak-gerak. Sekilas aku melihat dia
tersenyum lalu melambaikan sebelah tangannya.
Kemudian dia
membalik badan. Tiba-tiba semua menjadi buram dan berkabut. Lama kelamaan dia
hanya terlihat seperti sebuah siluet. Siluet dalam kegelapan. Semakin lama
semakin kabur dan menjadi tidak terlihat.
Lalu hilang.
Tasya menghilang.
Adegan 6
Kali ini rasanya
aneh. Adegan ini terasa nyata karena yang menjadi aktor satu-satunya adalah
aku.
Aku berada di
sebuah jetty. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disana. Nafasku tersengal-sengal dan
seluruh tubuhku merinding. Aku berlumuran darah. Wajahku, badanku, tanganku sampai
kakiku yang meninggalkan jejak berwarna merah. Aku tersentak lalu melihat
kesekelilingku. Banyak cipratan darah dimana-mana. Bahkan sampai balon-balon putih
yang terikat di pagar kayu pembatas jetty berubah warna menjadi merah.
Aku mundur
beberapa langkah sampai aku terjatuh karena menabrak sesuatu. Sesuatu yang
besar. Aku mengucek mataku. Tidak mungkin, aku pasti salah lihat. Aku kucek
sekali lagi. Dua kali. Tiga kali. Dan semua semakin terlihat jelas.
Aku.....................................
aku menabrak mayat!
2 mayat yang
ditumpuk. Mayat pria dan wanita yang terdapat pada adegan kedua. Dan didekat
mayat-mayat itu—tepatnya di
ujung kakiku—ada sebuah
pistol tergeletak. Aku lekas mengambil pistol itu. Kalau-kalau si pembunuh itu
muncul, setidaknya aku bisa membunuhnya terlebih dahulu.
Sedetik...
Semenit....
................................
beberapa menit berikutnya, tidak juga ada yang muncul.
Aku memandang
pistol itu lekat. Lalu tatapanku tertumbuk pada mayat-mayat itu. Pistol...
mayat... pistol... merah... darah...
Aku... aku yang
membunuh mereka?
Tidak mungkin.
Rasanya ini mustahil. Bagaimana mungkin aku membunuh mereka tapi aku tidak
sadar?
Aku membunuh
mereka.
Aku membunuh.
Aku pembunuh.
Aku...
pembunuh?
Hatiku
bergemuruh. Pistol ini... aku membunuh mereka dengan pistol ini. Nafasku
menderu dan mataku panas. Apa yang sudah aku lakukan? APA YANG BARU AKU LAKUKAN,
TUHAN?
Jemariku
menekan pemantik pistol lalu mengarahkannya...................................