Jumat, 23 November 2012

Teman hidup

Tak pernah lelah aku menuliskan indahnya
Dia, penyempurna kelemahanku
Penguat ketika aku lelah menghadapi dunia
Tanpa perlu berbahasa 
Karena hati kita tersatukan rasa

Dia, pengukir setiap senyumku
Bersamanya aku tenang
Bersamanya aku tak perlu bimbang
Andai bahagia bisa diukur
Maka bumi ini adalah besarnya bahagiaku memilikinya

Aku dan dia adalah satu
Terjatuh atapun bangkit
Jemarinya tak pernah bosan menggenggam tanganku
Dan sebelah tangannya adalah sapu tangan
Yang selalu siap menghapus setiap air kesedihanku

Dia adalah doaku pada Tuhan
Teman hidupku
Dan kuharap selamanya akan begitu
Setidaknya sampai mataku tak mampu lagi menikmati teduhnya


Sincerely, your missing rib



Minggu, 04 November 2012

Siluet

P.s: baca cerita dibawah ini sambil dengerin lagu berikut, biar feelnya dapet :)



“DASAR LELAKI BIADAB!!! KAMU PIKIR SAYA NGGAK BISA HIDUP TANPA KAMU!!!”

“Oh ya? Coba buktikan! Aku nggak yakin kamu bisa, HAHAHA,”

“BRENGSEK!!!”

“Sudahlah, Ndah. Semua makhluk di bumi ini juga tahu hidup kamu itu bergantung sama aku,”

“Dari awal seharusnya saya sadar kalau kamu itu PENGECUT!!!”

“Pengecut? Hei, aku tahu kamu juga nggak tahan merawat anak sial itu!”

PLAK!!!

***

Cekrek!

Aku memutar ganggang pintu perlahan. Rupanya tidak dikunci. Hatiku jadi semakin cemas tidak karuan. Pasalnya, tidak biasanya dia menelponku dan menyuruhku segera menuju ke rumahnya.

Dari luar, rumah itu terlihat sepi. Jujur, aku selalu mengagumi rumah bergaya minimalis dengan pemandangan pantai itu. Pekarangannya yang indah, jalanan yang selalu sunyi, dan suara ombak yang bergemuruh seakan ingin mengajak orang-orang yang mendengarnya melelapkan diri kedalamnya.

Dan begitu aku melangkahkan kaki memasukinya, aku terkejut setengah mati. Suasana didalam 180⁰ lebih menakutkan dan mengerikan. Mungkin benar kata orang, rumah itu penuh misteri yang tidak pernah terpecahkan sejak berabad-abad lamanya. Gelap. Hening. Sangat berantakan. Yang terdengar hanya deru ombak memanggil-manggil.

Mataku terus mencarinya. Jantungku berdegup lebih cepat seperti pelari maraton yang dipaksa lari 100 putaran stadion Gelora Bung Karno. Gila, ini gila. Bulu kudukku langsung berdiri. Lututku terasa lemas, padahal aku tidak mengidap arthritis. Aku berharap dia baik-baik saja. Tapi dia dimana?

Setelah 15 menit aku mengitari isi rumah itu, entah mengapa tiba-tiba langkahku tertuntun menuju pintu kaca belakang rumah yang tebuka lebar. Seperti ada yang menarik-narik kakiku dan memberitahu dia ada disana.

Dan ternyata memang benar. Dia disana. Duduk di ujung sebuah jetty yang terbuat dari kayu menuju laut lepas yang keindahannya tiada tara. Dia tidak terlihat, hanya tampak seperti siluet yang membaur dalam sunset. Siluet terindah yang pernah ada di muka bumi.

Siluet itu bernama Tasya. Gadis cantik berwajah tirus dengan rambut pendek sebahu. Aku lupa kapan pertama kali mengenalnya. Yang aku tahu, setiap hari dia mampu mencuri seluruh memori otakku sampai aku nyaris gila.

Seperti saat ini.

Aku melewati pintu kaca itu dan melangkah perlahan dengan perasaan yang campur aduk. Aneh. Ini semua terlalu aneh. Aku merasa ada yang janggal. Di setiap kayu yang menjadi pagar pembatas jetty ini terikat balon-balon berwarna putih. Lalu pada kayu yang aku injak terlihat banyak jejak kaki berwarna merah.

Putih? Merah? Pertanda apa ini?

Pikiranku langsung tertuju padanya. “Tasya!”

Dia menoleh. Hening sesaat. “Sini,” Tangannya menepuk-nepuk kayu disebelahnya pertanda aku harus duduk disana.

 “Kamu kenapa disini sendirian?”

“Tasya pengen lihat sunset,” ada seulas senyum tipis diantara kedua pipinya yang tirus.

Aku tahu, dia memang pengagum nomer satu fenomena tenggelamnya matahari. Dia selalu cerita, andai dia punya kesempatan kedua, dia mau terlahir sebagai matahari yang punya cahaya terbesar segalaxi bimasakti. Tapi menurutku, dia tidak perlu berpikir demikian.

Karena dia memang matahari.

“Kamu nggak papa, kan?” aku serius mengkhawatirkannya.

Hening kembali. Dia mengayun-ayunkan kaki sampai ujung kakinya menyentuh air laut dan membentuk gulungan ombak kecil.

“Tasya?”

“Mereka teriak lagi. Tasya benci mereka,”

Aku tahu siapa yang dia maksud.

“Mereka jahat! Sampai kapan mereka mau teriak di depan Tasya? Tasya salah apa? Mereka nggak perlu sayang sama Tasya. Tasya cuma pengen mereka diem,”

Aku menggenggam tangannya. Erat. “Kamu jangan takut, ada aku disini,”

“Tasya nggak takut. Sekarang mereka udah diem kok. Selamanya. Selamanya Tasya nggak bakal denger suara mereka lagi. Hehehe,”

Keningku berkerut. “Maksud kamu?”

Tiba-tiba angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Segerombol awan hitam berjalan dan merusak pemandangan sunset yang begitu indah sore itu. Ditambah suara petir yang menggelegar membuat suasana menjadi kelabu dalam sekejap. 



Dia tersenyum. Senyum termengerikan yang pernah dia tunjukkan untukku.

“Tasya, apa yang udah kamu lakuin?”

Dia diam tapi tatapannya tertuju pada genggaman tanganku. Entah feelingku yang salah atau bagaimana, tapi tatapan itu seakan menjadi pertanda bahwa jawaban dari pertanyaanku ada disana. Aku melepaskan genggamanku perlahan.

Merah. Ada warna merah lagi.

Mataku terbelalak kaget. YA TUHAN! Ini... ini... “Darah?” aku manatap nanar telapak tanganku yang berlumuran darah. “Tasya, kamu...?” belum sempat aku bertanya, dia kembali memberiku kejutan lain.

Tangannya terayun kedepan. Jari telunjuknya menunjuk sesuatu. Sesuatu disana, di tengah laut. Mengambang. Terseret ombak kesana kemari. Itu...

Astaga! Itu manusia! Ya, aku yakin aku tidak salah lihat. Itu manusia. 2 manusia yang sudah berwujud mayat.

Aku terlonjak kaget. Refleks aku berdiri dan menjauh dari gadis itu. “Kamu... Kamu membunuh mereka? Kamu gila, Sya!”

Lagi-lagi dia tersenyum. Sial! Itu bukan senyum Tasya. Dia pasti sedang dimasuki roh halus. “Apa kamu bilang? gila? Kamu bilang Tasya gila? Hahaha,” dia bangkit dari tempat duduknya. Lalu kejutan ketiga muncul dan sukses membuat jantungku terlepas dari posisinya.

Putih lagi. Lalu merah. Dress baby doll putihnya berlumuran darah. Tiba-tiba kakinya melangkah mendekatiku, meninggalkan jejak berwarna merah. Merah lagi. Lalu putih. Wajah itu memutih. Pucat. “Iya, KAMU GILA! Ini sudah gila namanya! KETERLALUAN!”

“KAMU YANG GILA! Belum sadar juga? HAHAHA,” dia tertawa terbahak-bahak seperti mendapatkan energi petir yang berebut bersahut-sahutan. Bulu kudukku kembali berdiri. Aku hendak mundur tapi langkahku terpentok pada pagar kayu pembatas jetty. Sial! Kalau aku mundur selangkah lagi, aku akan jatuh ke laut.

“PERGI! PERGI KAMU DARI SINI! KAMU EMANG UDAH BENAR-BENAR NGGAK WARAS!”

“Hei, yang nggak waras itu siapa?” Dia mengepungku. Semakin lama semakin mendekat, sampai tangannya berhasil membelai pipiku. “Rendy sayang... kamu pikir Tasya nyata?”

“Hah?” keningku berkerut lagi. Apa-apaan ini?

“Kamu belum sadar ya kalau kita satu? Tasya itu kamu. Kamu itu ya Tasya. Jiwa kita sama. Kalau menurut kamu Tasya gila, sesungguhnya kamu yang gila,” kali ini tangannya mengelus rambutku.

Kepalaku mendadak sakit. Sakit sekali. Dia pasti melakukannya lagi. Dia hendak mencuri seluruh memori otakku. Ya Tuhan, tolong hentikan ini! Sakit Sekali... “AAAARRRGGHHH!!!”

Berisik.

............................................ lalu hening.

Pandanganku mengabur. Semua berputar. Aku tersedot dalam mesin waktu. Lalu aku tersadar. Sekelilingku sepi. Aku dimana? Putih. Semua putih. Tidak ada apa-apa disana. Yang ada hanya sebuah layar besar yang sedang memutar sebuah film.


Adegan 1

Sebuah taman. Tasya disana. Duduk disebuah ayunan dengan wajah yang begitu gembira. Hei, ada aku juga!

“Kamu mau es krim?” kataku sambil menyodorkan es krim cone rasa vanilla.

“Mau!” dia meraihnya lalu menjilatnya dengan penuh keceriaan. “Hmm, enak,”

Aku memandangnya. Cukup lama. “Sya, kamu punya mimpi nggak?”

“Punya,”

“Apa?”

“Tasya pengen jadi matahari,”

“Matahari?”

“Tasya pengen bercahaya, Ren. Tasya pengen nggak ada orang yang takut gelap lagi karena Tasya,”


Adegan 2

Sebuah ruang tamu dalam rumah bergaya minimalis. Ada 2 aktor disana. Seorang pria—kekar, berwajah garang, berkumis, memakai kaos oblong dan jaket kulit dengan seorang wanita yang mungkin 5 tahun lebih muda dari si pria—cantik, rambut panjang dan dicepol asal, memakai daster berwana biru langit. Wajahnya mirip denganku.

“DASAR LELAKI BIADAB!!! KAMU PIKIR SAYA NGGAK BISA HIDUP TANPA KAMU!!!”

“Oh ya? Coba buktikan! Aku nggak yakin kamu bisa, HAHAHA,”

“BRENGSEK!!!”

“Sudahlah, Ndah. Semua makhluk di bumi ini juga tahu hidup kamu itu bergantung sama aku,”

“Dari awal seharusnya saya sadar kalau kamu itu PENGECUT!!!”

“Pengecut? Hei, aku tahu kamu juga nggak tahan merawat anak sial itu!”

PLAK!!! Si wanita menampar si pria. Lalu terdengar suara tangisan.


Adegan 3

Sebuah pintu besar. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Kamera menyorot 2 orang sedang berbincang-bincang di dalam. Seorang lelaki berjas putih dengan seorang wanita yang tidak terlihat karena membelakangi kamera.

“Dia mengidap schizofrenia,” kata si lelaki berjas putih.

“Schizofrenia?”

“Ya, schizofrenia. Sejenis gangguan jiwa yang sangat hebat. Perasaan, pikiran, dan perbuatannya menjadi terpecah dan telihat tidak serasi. Kadang dia bisa tertawa padahal hatinya sedang sedih, atau sebaliknya. Terlihat tidak sinkron dan sering berubah-ubah,”

Hening.

Si wanita menunduk.

“Bu, apa anak Ibu pernah berkata bahwa dia melihat sesuatu yang Ibu tidak lihat atau mendengar sesuatu yang tidak Ibu dengar?”

“Sering, Dok. Dia sering berkata bahwa dia melihat gadis cantik sedang duduk di ujung jetty rumah kami setiap sore. Saya juga sering melihat dia seperti berbincang dengan ‘sesuatu’ yang tidak saya lihat,”

“Sudah saya duga,” lelaki berjas itu menyandarkan punggungnya pada kursi, “Penderita schizofrenia memang sering mengalami halusinasi. Mereka menciptakan sosok-sosok sendiri dalam khayalan mereka yang mungkin akan terus menghantui sepanjang hidup mereka,”

“Apa dia bisa sembuh, Dok?”

“Bisa, tapi sulit. Karena...,” kalimat lelaki berjas putih itu menggantung setelah melihat ke arah kamera.

Beberapa detik kemudian, si wanita menoleh, mengikuti arah pandangan si lelaki berjas putih. Ternyata dia wanita yang sama seperti pada adegan kedua.

“Re... Rendy?”


Adegan 4

Lokasi sama seperti pada adegan kedua. Tapi kali ini di dalam sebuah kamar. Ada aku dan wanita tadi. Aku terbaring diatas ranjang sedangkan si wanita duduk disampingku dan mengelus-elus rambutku lembut. Matanya bengkak dan berair.

“Semua akan segera membaik, Sayang. Ibu akan menjagamu dan tidak akan membiarkan orang lain membuatmu terluka. Bahkan ayahmu sendiri. Ibu berjanji, selama nafas Ibu masih berhembus, Ibu tidak akan membiarkan lelaki itu menyentuh dan menyakitimu. Karena kamu anak Ibu satu-satunya. Anak kebanggaan Ibu. Ibu sayang kamu,”

Wanita itu mengecup keningku.


Adegan 5

Tasya. Dia berdiri di ujung jetty. Angin membuat rambut dan dress baby dollnya bergerak-gerak. Sekilas aku melihat dia tersenyum lalu melambaikan sebelah tangannya.

Kemudian dia membalik badan. Tiba-tiba semua menjadi buram dan berkabut. Lama kelamaan dia hanya terlihat seperti sebuah siluet. Siluet dalam kegelapan. Semakin lama semakin kabur dan menjadi tidak terlihat.

Lalu hilang. Tasya menghilang.


Adegan 6

Kali ini rasanya aneh. Adegan ini terasa nyata karena yang menjadi aktor satu-satunya adalah aku.

Aku berada di sebuah jetty. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disana. Nafasku tersengal-sengal dan seluruh tubuhku merinding. Aku berlumuran darah. Wajahku, badanku, tanganku sampai kakiku yang meninggalkan jejak berwarna merah. Aku tersentak lalu melihat kesekelilingku. Banyak cipratan darah dimana-mana. Bahkan sampai balon-balon putih yang terikat di pagar kayu pembatas jetty berubah warna menjadi merah.

Aku mundur beberapa langkah sampai aku terjatuh karena menabrak sesuatu. Sesuatu yang besar. Aku mengucek mataku. Tidak mungkin, aku pasti salah lihat. Aku kucek sekali lagi. Dua kali. Tiga kali. Dan semua semakin terlihat jelas.

Aku..................................... aku menabrak mayat!

2 mayat yang ditumpuk. Mayat pria dan wanita yang terdapat pada adegan kedua. Dan didekat mayat-mayat itu—tepatnya di ujung kakiku—ada sebuah pistol tergeletak. Aku lekas mengambil pistol itu. Kalau-kalau si pembunuh itu muncul, setidaknya aku bisa membunuhnya terlebih dahulu.

Sedetik...

Semenit....

................................ beberapa menit berikutnya, tidak juga ada yang muncul.

Aku memandang pistol itu lekat. Lalu tatapanku tertumbuk pada mayat-mayat itu. Pistol... mayat... pistol... merah... darah...

Aku... aku yang membunuh mereka?

Tidak mungkin. Rasanya ini mustahil. Bagaimana mungkin aku membunuh mereka tapi aku tidak sadar?

Aku membunuh mereka.

Aku membunuh.

Aku pembunuh.

Aku... pembunuh?

Hatiku bergemuruh. Pistol ini... aku membunuh mereka dengan pistol ini. Nafasku menderu dan mataku panas. Apa yang sudah aku lakukan? APA YANG BARU AKU LAKUKAN, TUHAN?

Jemariku menekan pemantik pistol lalu mengarahkannya...................................
 ............................................ke pelipisku.

Dan yang terjadi selanjutnya, aku tidak tahu...

***

HEADLINE NEWS:

JAKARTA— Seorang pemuda penderita gangguan jiwa tewas bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri setelah membunuh kedua orang tuanya.

-THE END-