Aku di bumi menunggumu, menunggu semua ceritamu tentang istana langit, menunggu semua celotehmu tentang negeri di atas awan, menunggu semua kisahmu tentang makhluk-makhluk penghuni atap bumi. Setiap apa yang keluar dari mulutmu adalah kedamaian. Karenanya aku disini, berdiri memandang langit dan berharap kamu segera pulang.
Senin, 31 Desember 2012
Sabtu, 15 Desember 2012
What is friendship?
For me, friendship is about tolerate. Yap, toleransi. Berani berteman, itu artinya kamu harus berani
menerima perbedaan satu sama lain. Dan jangan sekali-kali kamu ngejudge kalau
kamu ngerasa nggak cocok sama dia hanya karena sifat kalian bertolak belakang. Sometimes, yang bertolak
belakang itu justru bisa saling melengkapi. Like
a puzzle. Temanmu adalah pengisi kekuranganmu.
Berteman, nggak selamanya selalu sejalan. I mean, kadang di tengah jalan muncul
ketidaknyamanan atas sifat dari teman kita. Dan penyebab ketidaknyamanan itu
tidak lain dan tidak bukan adalah ego, suatu pertahanan terhadap keyakinan kita
akan pembenaran diri. Wajar jika ego kita muncul ke permukaan secara tiba-tiba.
Itu manusiawi.
Tapi coba bayangkan jika ego kamu dan temanmu muncul disaat
bersamaan, mereka akan bertubrukan satu sama lain dan saling melukai. Namun
jika kamu sudah dewasa, kamu akan tahu saat itu adalah saatnya kamu mengalah.
Ada kalanya kita membandingkan teman yang satu dengan teman yang
lain. Teman saat sekolah dengan teman saat kuliah, si A yang enak diajak curhat
dengan si B yang kelihatan nggak peduli sama kita, atau dia yang sering nggak
klik sama kita dengan dia yang punya sifat sama dengan kita. Kali ini
ujung-ujungnya kita harus kembali ke definisi dari berteman.
Friendship is about tolerate.
Dari perbedaan akan tercipta satu kesatuan. Right?
Pernah suatu ketika menonton acara Hitam Putih, Deddy Corbuzier
berkata "Selama ini orang
berpikir, sahabat yang baik itu adalah sahabat yang ada disaat kita
susah/sedih, tapi kalau menurut saya, sahabat yang baik justru adalah dia yang
ada disaat kita senang. Kalau saya sedih, saya lebih memilih untuk menyendiri
dan merenung. Tapi coba bayangkan ketika anda sedang senang, misalnya sedang
ulang tahun, tidak ada sahabat disamping anda, tidak ada yang mengucapkan
selamat ulang tahun, bukankah itu lebih menyedihkan?"
Saya setuju dengan statement itu. Kenapa kita harus mempertanyakan
kemana teman kita disaat kita sedih? Justru mereka yang ada disaat kita bahagia
adalah yang terbaik. Ketika kamu sedih dan kamu tahu teman kamu sedang bahagia, try to hide your sadness dan tersenyumlah. Atau jika kamu sudah
benar-benar tidak bisa untuk tersenyum, menghindarlah, jangan memaksa untuk
ikut nimbrung karena itu bisa memicu munculnya ego dengan perkataan
"Tolong lo ngertiin gue!". Kamu tahu dengan begitu kamu bisa merusak
kebahagiaan temanmu. Itu lebih kejam daripada nggak ada yang peduli saat kita
sedih. Sure!
Disini, bukan berarti saya sudah bisa menjadi sahabat yang baik
buat sahabat-sahabat saya. Saya cuma berusaha menjadi diri sendiri dan memahami
setiap karakter mereka. Try to
change the words "Coba
lo ada di posisi gue!" dengan "Coba ya gue ada di posisi lo...".
Dan yang terakhir, jangan gengsi ngucapin "Maaf" dan
"Terima kasih". Dua kata itu sangat ampuh mengikat tali persahabatan
lebih kuat. Berdasarkan pengalaman sih.
Sabtu, 08 Desember 2012
A Hope
(Cerpen ini pernah diikutkan lomba yang diadakan Gagas Media. Sayangnya didiskualifikasi karena terlambat ngirim)
Terinspirasi dari lagu Dewi Lestari - Selamat Ulang Tahun
5 menit lagi. Kamu tahu, kan, setelah
5 menit ini berlalu akan ada yang berubah? Karenanya aku disini, menunggu
sesuatu yang menurutku masih ber-asa dari segala ketidakmungkinan. Aku percaya,
Tuhan akan memberikan kebahagian di sela luka yang belum sempurna sembuh. Dan
itu akan terjadi 5 menit lagi. 5 menit terpenting dalam hidupku.
Jujur, aku gugup.
Aku takut terlihat aneh dengan gaun
ini. Ditambah lipstik pink dan pemerah pipi. Apa kamu akan menyebutku badut
dengan stelan seperti ini?
Sebenarnya, aku belum siap menyambut 5
menit itu. Tapi kamu yang meyakinkanku. Kamu yang selalu meyakinkanku. 5 menit
lagi. Baiklah, aku akan menunggu.
Semoga 5 menit itu tidak lama.
***
“5 menit lagi. Kenapa aku takut ya?”
Kamu menatapku lalu tersenyum. “Everything will be alright, Naya. Jangan
gemetar seperti itu,”
Aku manyun. Laki-laki ini memang
selalu menghadapi segala sesuatunya dengan santai. Kelewat santai malah. Mungkin,
kalau 1 meter di depannya ada mobil yang melaju dengan kecepatan 100 km/jam,
dia dengan santainya akan berjalan seolah masih punya nyawa cadangan. Kadang
sikapnya itu mengesalkan. Tidak bisakah dia merasakan kegugupan yang aku
rasakan sekarang?
“Hei,” tiba-tiba kamu menggenggam
tanganku yang sedari tadi mengetuk-ngetuk tembok pembatas rooftop rumah kami
yang hanya setinggi pinggangku dengan tidak berirama. Entah kenapa, seketika
itu juga ada kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku. Rasa takut pun
perlahan memudar seiring dengan terbitnya senyum itu. “Sudah siap dengan
permohonan baru?”
Aku mengangguk.
“Seberapa banyak?”
“Hanya satu,”
“Kenapa cuma satu? Kamu bisa membuat seratus
permohonan sekalipun,”
“Aku nggak butuh banyak permohonan,”
“Boleh aku tahu apa permohonanmu?”
Dengan mantap aku menggeleng, “ Ini
rahasia antara aku dan Sirius,”
Sirius yang aku maksud adalah nama
bintang yang dipercaya memiliki cahaya paling terang dalam ilmu Astronomi. Ini
semua gara-gara dia. Dongeng tentang Sirius yang dia ceritakan 8 tahun yang
lalu itu seolah sudah memiliki ruang khusus dalam kotak imanginasiku. Dan
parahnya aku percaya.
Aku percaya jika Sirius itu adalah
jelmaan dari dewa Apollo−yang orang Yunani anggap sebagai dewa cahaya. Konon, Sirius
hanya muncul satu tahun sekali dan itu jatuh tepat pada hari dimana seluruh
manusia merayakannya sebagai perayaan tahun baru. Pada hari itu, jika kita
mengajukan permohonan, maka dewa Apollo akan mengabulkannya.
Dan entah kebetulan yang disengaja
atau tidak, aku lahir di tanggal itu, tepat di malam tahun baru, 1 januari.
“Kita hitung mundur ya. 10... 9...
8...,”
Entah kenapa jantungku berdegup lebih
keras.
“7... 6... 5...,”
Aku mulai memejamkan mata. Jemariku
saling bertautan.
“4... 3... 2...1. Let’s make a wish!”
Hatiku lekas menggumam 1 permohonan
yang sudah aku siapkan jauh-jauh hari. 1 permohonan sederhana yang aku yakin
tidak akan menyusahkan dewa Apollo. Ini karena tahun lalu aku membuat begitu
banyak permohonan dan tidak semua permohonan itu terkabul. Pikirku, mungkin
karena dewa Apollo kerepotan dengan ratusan permohonan yang aku ajukan. Dan
kali ini aku meringkasnya menjadi 1.
Hanya
1, kok, dewa Apollo.
Tiba-tiba terdengar bunyi letusan dan
terompet dimana-mana. Mataku membuka dan aku sontak terpana dengan pemandangan
spektakuler dihadapanku. Ada kembang api. Kembang api yang bermunculan layaknya
cipratan cat warna-warni di kanvas hitam. Ini luar biasa. Ini... hadiah dari
Tuhan yang tidak ternilai indahnya.
“Happy
birthday to you... happy birthday to you... happy birthday, happy birthday,
happy birthday, Naya...”
Aku menoleh. Belum selesai rasa
kagumku pada keelokkan langit malam ini, dengan tiba-tiba lagi aku mendapat
kejutan baru. Kamu berdiri disana, bermandikan cahaya lampu yang diatur
sedemikian rupa pada sebuah papan putih membentuk kalimat “Happy Birthday”. Wajahmu
bersinar, seperti Sirius di malam ini. Lalu kamu tersenyum. Aku sampai tak
dapat berkata-kata dan hanya bisa berkaca-kaca.
“Cut Nayala Anggraini, selamat ulang
tahun yang ke 16 ya. Semoga kamu semakin dewasa, semakin cantik, selalu sehat
dan tidak kurang satu apapun. Dan oh ya, semoga permohonanmu pada sirius
dikabulkan. Aku menyanyangimu. Selalu,”
Setelah kamu mengucapkannya, detik itu
juga pipiku basah.
***
Malam ini dingin sekali. Sepertinya
udara di rooftop rumah sedang tidak bersahabat. Tubuhku gemetar. Hidungku
sampai meler beberapa kali. Tapi semua bisa aku tahan sebentar saja. Mungkin
sampai kamu datang.
2 menit lagi.
2 menit lagi saat itu akan tiba. Aku
butuh kamu untuk melengkapi semuanya. Cepatlah datang, Siriusku.
***
KRIIINGGG!!!
Telpon rumah berdering. Tidak ada
orang di rumah selain aku. Sepertinya mbok Tarti sedang ke pasar. “Halo,”
“Halo, Mbok. Naya ada?”
Aku mengenal suara itu. Seketika itu
juga ide jahilku muncul. “Maaf, Mas Gilang, mbak Nayanya tadi kabur,”
“Hah? Kabur? Kabur gimana maksudnya,
Mbok?”
“Ndak
tau, Mas. Tadi dia tiba-tiba pergi bawa koper,”
“Serius? Mbok nggak becanda, kan?”
terdengar nada panik dari kalimat itu. Perutku langsung geli.
“Kalo saya becanda, Mas, kan harusnya
ketawa,”
“Mbok, tolong dong jangan main-main!
Saya udah pusing sama pekerjaan di kantor. Saya nggak ada waktu becanda
sekarang!”
Aku menyerah. Rasanya sakit sekali
menahan ribuan semut yang menggelitiki perutku. Tawaku langsung meledak.
“Na... Naya?”
“Hahahaha. Serius amat sih, Mas
Gilang. Jangan diambil pusing ah, nanti cepet tua. Hehehe,”
Hening di seberang.
“Mas, kok diem?”
Ada helaan nafas terdengar. “Naya,
kamu tahu jantung aku udah mau copot,”
“Cie... kaget ya? Hahahaha,”
“Naya, ini nggak lucu. Aku panik, Nay.
Tahu kamu seberapa khawatirnya aku? Tadi aku sempat kepikir mau beli tiket ke
Jakarta saat ini juga begitu tahu kabar kamu kabur. Kamu tahu, kan, jarak
Amsterdam-Jakarta itu nggak deket? Ribuan kilo, Nay! Dan aku yakin, kamu nggak
kepikiran kalo aku bakal ketakutan setengah mati selama menempuh ribuan kilo
itu. Aku takut kehilangan kamu, Naya. Aku takut,”
Hening kembali. Kali ini sunyi yang membungkam
mulutku. Entah kenapa rasanya sakit sekali. Kata-kata itu... seperti pedang
yang menusuk-nusuk ragaku. Perih. Mataku langsung panas.
“Ma... maaf,”
***
Perihal kabur, aku sudah sering
melakukannya beberapa tahun yang lalu. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.
Aku hanya merasa tidak enak. Ini bukan tempatku. Ini bukan “rumah”ku. Rasanya
seperti orang asing yang terperangkap dalam pulau terpencil. Segalanya serba
tidak nyaman.
Aku cuma ingin satu. Pulang ke rumah.
Rumahku yang sebenarnya. Rumah tempatku dilahirkan. Kalo dipikir-pikir gampang
saja. Aku tinggal pulang ke rumah dan hidup bahagia disana. Tapi masalahnya
tidak sesederhana itu.
Aku tuna wisma. Rumahku hancur pada peristiwa
tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam. Segalanya terenggut saat itu. Tidak hanya
rumahku, tapi juga jiwaku. Menyakitkan memang melihat begitu banyak jasad
berserakan disekelilingku. Tapi tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat
ayah dan ibuku terjepit diantara timbunan batu bata dan beton sedangkan aku
tidak bisa berbuat apa-apa karena umurku baru 9 tahun saat itu.
Duniaku menjadi gelap. Tidak ada
cahaya sama sekali. Aku seperti tidak punya harapan, tidak tahu kemana harus
menuju. Semua orang berteriak tapi aku merasa kesepian. Hancur. Semuanya hancur.
Rasanya paru-paruku sudah tidak sanggup beroperasi lagi sebagaimana mestinya.
Mungkin sebaiknya Tuhan mencabut nyawaku saat itu juga.
Tapi ternyata Tuhan malah menggariskan
takdir yang sebaliknya. Dia mengirim kamu. Seakan menjadi penerang diantara
kabut duka pada hari itu. Kamu, dengan seragam kaos bertuliskan “Relawan PMI”
membawaku keluar dari ruang gelap itu. Tidak hanya itu, kamu juga memberiku
harapan baru dengan caramu yang unik. Dongeng tentang Sirius. Dongeng tentang
harapan yang akan selalu muncul di malam tahun baru. Kamu menceritakannya
dengan menggebu-gebu. Dan bodohnya aku percaya begitu saja.
Takdir menuntunku menuju rumahmu.
Alasannya sederhana, kamu butuh teman disana. Rupanya kamu juga sebatang kara.
Tapi berbeda denganku, ayah ibumu masih bernyawa. Hanya saja, jarak ribuan kilo
yang memisahkan kalian. Kamu di Jakarta dan mereka di Amsterdam. Sedangkan aku?
Aku dan orang tuaku terpisah oleh dunia yang berbeda. Kami tidak akan bertemu
lagi selama aku masih memilih menapak jejak pada bumi.
Tahun berganti tahun, Sirius datang
lalu pergi, luka itu pulih secara perlahan. Hidupku nyaris kembali sempurna.
Kamu seolah menjadi perekat serpihan-serpihan bahagiaku yang berserakan. Entah
kenapa, aku rela menunggui pintu itu sampai ralut malam, asal bisa melihat kamu
datang sepulang kerja. Aku rela bangun lebih pagi, asal bisa memandang ekspresi
lugumu saat tidur. Aku rela berpura-pura bahagia, asal bisa menikmati senyummu
setiap saat.
Awalnya aku menduga ini hanya sebuah
refleksi dari rasa nyaman yang kamu ciptakan. Namun seiring bertambahnya umur,
aku merasa ada yang aneh. Ada sesuatu yang tumbuh, entah apa itu, yang lama kelamaan
menyesaki seluruh ruang dihatiku. Seperti... rasa tidak ingin kehilangan. Apa
ini sudah tidak normal?
Mungkin bisa dikatakan dalam batas
kewajaran jika kamu bukan seorang lelaki yang 11 tahun lebih tua dariku atau
jika kamu bukan seseorang yang baru aku kenal secara tidak sengaja dalam sebuah
tragedi besar atau jika kamu bukan seorang pria yang sudah seharusnya memilih
wanita dewasa sebagai pendamping hidup bukannya seorang gadis remaja yang masih
bertingkah kekanakkan. Tapi pada akhirnya aku harus menyadari bahwa ini bukan
negeri dongeng yang dengan mudahnya menyatukan cinta sang putri dan pangeran.
***
“Nay, aku mau ngasih tau kamu sesuatu,”
Malam ini tumben-tumbennya kamu pulang
lebih awal dan mengajak aku makan malam di rumah. Menunya nasi goreng spesial
ala mbok Tarti. Walaupun sederhana, tapi rasanya menyenangkan karena ini adalah
momen langka. Bisa duduk berhadapan dengan kamu tepat pukul 7 malam seperti ini
mungkin bisa dihitung dengan jari sangking jarangnya kamu pulang sebelum tengah
malam.
“Wah, samaan dong! Aku juga mau ngasih
tau Mas sesuatu,” ujarku dengan wajah semeriah mungkin.
“Oh ya? Tentang apa?”
Aku meletakkan sendokku dan beralih
menopang dagu. “Tebak dulu!”
“Kamu baru beli boneka baru?”
“No!”
senyumku merekah. Aku tau kamu tidak mungkin bisa menebak.
“Ada siaran ulang barbie di televisi?”
“Haha, bukan,”
“Terus apa? Kasih clue dong!”
“Sesuatu yang bakal bikin Mas kaget,”
Wajahmu berubah serius. Aku tahu kamu
sedang memutar otak untuk menebak-nebak apa yang ingin aku katakan. Andai kamu
tahu, semakin kamu mengerutkan keningmu, wajahmu semakin lucu. “Kecoa?”
“Kenapa mikir kesitu?”
“Ya terus apa dong?”
“Jadi nyerah nih?” tanyaku sambil
mengerling nakal.
Kamu mengangkat tangan tanda menyerah.
Aku tersenyum penuh kemenangan. “Payah
nih! Masa gitu aja nyerah. Jadi gini... sebenernya yang mau aku kasih tau
itu...,” sengaja aku menggantungkan kalimat itu sambil mengamati ekspresimu
yang terlihat dipenuhi rasa penasaran. Keningmu yang berkerut, alis tebalmu
yang terangkat naik, mata coklatmu yang berubah membulat, hidungmu yang
terlihat menahan nafas, lalu berakhir pada mulutmu yang menganga lebar—entah
kenapa membuatku semakin terpesona. Denyut aneh ini terasa kembali. Denyut yang
hanya muncul pada saat sorot mataku dan matamu bertemu pada satu titik.
Sepertinya ketidaknormalan ini mulai muncul lagi.
“Hei, kok malah bengong?” seketika itu
juga kamu membuyarkan khayalanku.
Aku nyengir. “Sebenernya.... aku punya
kejutan buat Mas,” aku melihat perubahan air muka di wajahmu. Sebelum kamu
membuka mulut, aku sudah menyambar lebih dahulu. “Dan kejutannya bakal ada pas
malam tahun baru nanti, tepat saat aku berumur 17 tahun,”
Aku kira kamu akan memaksaku memberi
tahu apa bentuk kejutan itu. Karena setahuku, kamu orang yang paling anti sama
yang namanya kejutan. Kamu paling nggak suka dibikin penasaran. Tapi anehnya,
kali ini kamu justru diam.
“Kok kelihatan nggak seneng sih?” aku
manyun.
“Ng... nggak kok, aku seneng. Hehe,”
Entah kenapa aku mengendus ada yang
tidak beres dengan dirimu, mungkin lebih tepatnya ada yang salah dengan
rangkaian saraf di otakmu. Aku lihat dari tadi kamu lebih banyak mengunci mulut
dan tidak sebawel biasanya. Kulitmu juga memucat. Apa jangan-jangan kamu sedang
sakit?
“Oh iya, Mas mau ngasih tau apa?”
“Hah?
“Tadi katanya Mas mau ngasih tau
sesuatu,”
“Oh... nggak jadi deh, hehe,”
***
Aku melirik jam tangan yang tidak aku
kenakan. 30 detik lagi dan kamu belum juga menampakkan batang hidung. Rasa
gelisah itu semakin menyeruak dan membuat pikiranku menjadi tidak karuan.
Berbagai spekulasi muncul dalam benakku. Tapi aku menepisnya dan berharap kamu
nyata ada disini saat ini juga.
Untuk mengusir sepi, otakku sedari
tadi memutar memori lama dalam album kenangan antara aku dan kamu. Semuanya
terasa menyenangkan. Terutama di tempat ini. Tempat rahasia yang menjadi penghubung
antara aku, kamu dan Sirius. Sebuah rooftop yang cukup luas. Tidak ada barang
satupun disana, bahkan lampu sekalipun. Ini yang sering aku keluhkan padamu.
Aku butuh lampu karena aku takut gelap. Dan kamu tahu sebabnya. Trauma psikis.
Tapi setiap kali aku mengeluh seperti
itu kamu selalu berkata bahwa semakin hari langit akan semakin turun dan suatu
saat kamu bisa menggapainya hanya dengan berjinjit saja. Lalu ketika saat itu
tiba, kamu berjanji akan memetik salah satu bintang di langit untuk kamu jadikan
lampu di rooftop ini supaya aku tidak takut lagi. Aku boleh memilih bintang
mana yang cocok untuk dijadikan lampu. Dan aku memilih Sirius.
Sirius, bintang ini sudah memberi
kekuatan tersendiri untukku menjalani sisa hidup. Sejak tragedi itu, aku selalu
menanti setiap malam tahun baru dan mempersiapkan permohonan-permohonan khusus
beberapa hari sebelumnya. Malam tahun baru sudah menjadi malam sakral yang
sangat amat berarti untukku. Ada 3 hal yang membuat malam itu begitu berharga.
Pertama, pada malam itu aku akan
bertambah usia. Kedua, Sirius, bintang kesayanganku ini akan muncul dan aku
bisa mengajukan permohonan padanya. Ketiga, ini yang sebenarnya menjadi alasan
terbesar mengapa aku begitu menyukai malam itu, karena kamu akan meluangkan
seluruh waktumu yang mahal untukku. Ya, hanya untukku. Tidak diduakan dengan
pekerjaan kantor atau kesibukanmu yang lain.
Dan detik itu semakin mendekat. Dingin
menusuk-nusuk kulit seakan sedang mengadakan konspirasi besar dengan alam untuk
membunuhku secara perlahan. Tubuhku gemetar kian hebat. Aku butuh kamu. Aku
butuh pelukmu. Aku mohon, sebentar saja datang kesini. Sebentar saja, kuatkan
aku. Jadikan aku siap menghadapi kenyataan bahwa sebentar lagi kamu akan
menjauh, sebentar lagi kamu tidak akan lagi bisa melewati malam tahun baru denganku,
sebentar lagi dongeng sirius itu akan benar-benar lenyap dalam ingatanku.
Sebentar lagi, sebentar lagi, dan
sebentar lagi...
Sejujurnya, aku belum siap mengganti
kata sebentar lagi itu dengan saat ini.
***
Dear, Naya
Sebelum
kamu membaca surat ini sampai akhir, aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak
pernah berpura-pura menyayangimu. Aku benar-benar sayang kamu sejak awal Tuhan
menggariskan takdirku menemukanmu. Kamu yang membuatku merasa memiliki hidup.
Hidup yang dalam definisi kamusku berarti tidak lagi merasa kosong ditengah
suara-suara berisik yang tumpang tindih dalam gendang telingaku.
Kalau
aku boleh menganalogikan, kamu itu seperti crayon, punya banyak warna yang
masing-masing warna mencerminkan 1 perasaanmu. Aku melihat warna biru saat kamu
sedang tersenyum. Sejuk dan mendamaikan. Lain waktu aku bisa melihat warna
merah saat emosimu sedang meledak-ledak. Atau warna hitam saat hatimu sedang
dirundung kesedihan. Semua terlihat jelas, Naya. Terlalu jelas. Bahkan sampai
saat kamu memancarkan warna merah jambu di setiap kali aku berada di sampingmu.
Naya...
kamu itu perempuan terhebat yang pernah aku temui. Ketegaranmu menantang hidup adalah
alasan mengapa aku berkata demikian. Aku kagum padamu. Dan entah atas dorongan
apa, aku selalu ingin melindungimu, aku selalu ingin menjaga nyala mata itu,
aku selalu ingin menjadi alasan di balik tawa riangmu.
Awalnya
aku hanya berpikir bahwa selamanya aku bisa menjagamu karena kita satu atap.
Tapi ketika hari itu datang, aku menyadari bahwa segalanya tidak sesederhana
itu. Hari itu adalah hari dimana aku terjatuh pada hati perempuan lain. Namanya
Claudia. Dia teman kecilku saat aku masih tinggal di Amsterdam. Dialah pencipta
asli dongeng Sirius itu. Dongeng yang sebenarnya ditujukan agar aku tidak
menangis ketika ayah dan ibu tidak bisa pulang ke rumah karena sibuk dengan
urusan kantornya.
Aku
tidak menyangka dongeng Sirius itu akan berefek besar pada kehidupanmu. Dan
kehidupanmu adalah kehidupanku juga. Maka ketika kamu kembali menjadi kamu, aku
pun seperti punya nyawa cadangan sehingga hidupku kembali hidup. Namun seperti
yang kukatakan sebelumnya, semua ternyata tidak sesederhana itu. Aku tidak memikirkan
akan hadirnya kehidupan lain yang kelak menjadi kehidupanku juga.
I’m so sorry Naya if what i wanna tell
to you will hurt you much. Aku nggak bisa
datang malam tahun baru nanti. Aku harus ke Amsterdam. Aku dan Claudia akan
bertunangan. Sebenarnya berkali-kali aku ingin memberitahumu, tapi aku nggak
sanggup. Aku takut akan merusak semua kebahagiaanmu bahkan sebelum hari H itu
datang. Maafkan aku, Naya. Maafkan aku jika keputusanku tidak memberitahumu ini
salah.
Dan
aku ucapkan, selamat ulang tahun, Naya. Jadilah perempuan yang semakin dewasa,
cantik hatinya, rupanya, maupun tingkah lakunya. Dari sini aku akan memohon
pada Sirius untuk terus menjagamu karena aku tidak akan bisa lagi menemuimu
sesering dulu.
Aku
harap kamu mengerti, Naya. Aku menyayangimu, tapi aku mencintainya. Sekali lagi
maaf.
Gilang
***
“10... 9... 8...,”
Cut
Nayala Anggraini, selamat ulang tahun yang ke 16 ya. Semoga kamu semakin
dewasa, semakin cantik, selalu sehat dan tidak kurang satu apapun. Dan oh ya,
semoga permohonanmu pada Sirius dikabulkan. Aku menyanyangimu. Selalu.
Mataku panas dan hatiku terasa
disesaki sesuatu yang menyakitkan. Sakitnya melebihi hawa dingin yang begitu
mencekam sedari tadi.
“7... 6... 5...,”
Aku
takut kehilangan kamu, Naya. Aku takut.
Ada air disana, tertampung di kedua
kelopak mataku. Semakin lama semakin menggunung dan rasanya perih.
“4... 3... 2... 1,”
Tes!
Kelopak mataku melemah dan air itu
mengalir dengan indahnya seiring dengan munculnya kembang api berwarna-warni di
angkasa gelap.
Aku
harap kamu mengerti, Naya. Aku menyayangimu, tapi aku mencintainya. Sekali lagi
maaf.
“Kamu yang nggak pernah ngerti,
Gilang. Semua ini buat kamu,”
Saat itu juga aku menghapus seluruh make up yang menempel di wajahku. Bodoh!
***
Sirius,
di ulang tahunku yang ke 16 ini, aku cuma mau memohon satu hal.
Kuatkan
aku untuk mengatakan yang sejujurnya padanya nanti,
tepat
saat aku berulang tahun yang ke-17,
bahwa
aku mencintainya,
sepenuh
hati.
Selasa, 04 Desember 2012
Jumat, 23 November 2012
Teman hidup
Tak pernah lelah aku menuliskan indahnya
Aku dan dia adalah satu
Dia adalah doaku pada Tuhan
Dia, penyempurna kelemahanku
Penguat ketika aku lelah menghadapi dunia
Tanpa perlu berbahasa
Karena hati kita tersatukan rasa
Dia, pengukir setiap senyumku
Bersamanya aku tenang
Bersamanya aku tak perlu bimbang
Andai bahagia bisa diukur
Maka bumi ini adalah besarnya bahagiaku memilikinya
Aku dan dia adalah satu
Terjatuh atapun bangkit
Jemarinya tak pernah bosan menggenggam tanganku
Dan sebelah tangannya adalah sapu tangan
Yang selalu siap menghapus setiap air kesedihanku
Dia adalah doaku pada Tuhan
Teman hidupku
Dan kuharap selamanya akan begitu
Setidaknya sampai mataku tak mampu lagi menikmati teduhnya
Sincerely, your missing rib
Minggu, 04 November 2012
Siluet
P.s: baca cerita dibawah ini sambil dengerin lagu berikut, biar feelnya dapet :)
“DASAR LELAKI BIADAB!!! KAMU PIKIR SAYA NGGAK BISA HIDUP TANPA KAMU!!!”
“Oh ya? Coba buktikan! Aku nggak yakin kamu bisa, HAHAHA,”
“BRENGSEK!!!”
“Sudahlah, Ndah. Semua makhluk di bumi ini juga tahu hidup
kamu itu bergantung sama aku,”
“Dari awal seharusnya saya sadar kalau kamu itu PENGECUT!!!”
“Pengecut? Hei, aku tahu kamu juga nggak tahan merawat anak
sial itu!”
PLAK!!!
***
Cekrek!
Aku memutar
ganggang pintu perlahan. Rupanya tidak dikunci. Hatiku jadi semakin cemas tidak
karuan. Pasalnya, tidak biasanya dia menelponku dan menyuruhku segera menuju ke
rumahnya.
Dari luar,
rumah itu terlihat sepi. Jujur, aku selalu mengagumi rumah bergaya minimalis
dengan pemandangan pantai itu. Pekarangannya yang indah, jalanan yang selalu
sunyi, dan suara ombak yang bergemuruh seakan ingin mengajak orang-orang yang
mendengarnya melelapkan diri kedalamnya.
Dan begitu aku
melangkahkan kaki memasukinya, aku terkejut setengah mati. Suasana didalam 180⁰ lebih menakutkan dan mengerikan.
Mungkin benar kata orang, rumah itu penuh misteri yang tidak pernah terpecahkan
sejak berabad-abad lamanya. Gelap. Hening. Sangat berantakan. Yang terdengar
hanya deru ombak memanggil-manggil.
Mataku terus
mencarinya. Jantungku berdegup lebih cepat seperti pelari maraton yang dipaksa
lari 100 putaran stadion Gelora Bung Karno. Gila, ini gila. Bulu kudukku
langsung berdiri. Lututku terasa lemas, padahal aku tidak mengidap arthritis.
Aku berharap dia baik-baik saja. Tapi dia dimana?
Setelah 15
menit aku mengitari isi rumah itu, entah mengapa tiba-tiba langkahku tertuntun
menuju pintu kaca belakang rumah yang tebuka lebar. Seperti ada yang
menarik-narik kakiku dan memberitahu dia ada disana.
Dan ternyata memang
benar. Dia disana. Duduk di ujung sebuah jetty yang terbuat dari kayu menuju
laut lepas yang keindahannya tiada tara. Dia tidak terlihat, hanya tampak
seperti siluet yang membaur dalam sunset. Siluet terindah yang pernah ada di muka
bumi.
Siluet itu
bernama Tasya. Gadis cantik berwajah tirus dengan rambut pendek sebahu. Aku
lupa kapan pertama kali mengenalnya. Yang aku tahu, setiap hari dia mampu
mencuri seluruh memori otakku sampai aku nyaris gila.
Seperti saat
ini.
Aku melewati
pintu kaca itu dan melangkah perlahan dengan perasaan yang campur aduk. Aneh. Ini
semua terlalu aneh. Aku merasa ada yang janggal. Di setiap kayu yang menjadi
pagar pembatas jetty ini terikat balon-balon berwarna putih. Lalu pada kayu
yang aku injak terlihat banyak jejak kaki berwarna merah.
Putih? Merah?
Pertanda apa ini?
Pikiranku
langsung tertuju padanya. “Tasya!”
Dia menoleh. Hening
sesaat. “Sini,” Tangannya menepuk-nepuk kayu disebelahnya pertanda aku harus duduk disana.
“Kamu kenapa disini sendirian?”
“Tasya pengen
lihat sunset,” ada seulas senyum tipis diantara kedua pipinya yang tirus.
Aku tahu, dia
memang pengagum nomer satu fenomena tenggelamnya matahari. Dia selalu cerita,
andai dia punya kesempatan kedua, dia mau terlahir sebagai matahari yang punya
cahaya terbesar segalaxi bimasakti. Tapi menurutku, dia tidak perlu berpikir
demikian.
Karena dia
memang matahari.
“Kamu nggak
papa, kan?” aku serius mengkhawatirkannya.
Hening kembali.
Dia mengayun-ayunkan kaki sampai ujung kakinya menyentuh air laut dan membentuk
gulungan ombak kecil.
“Tasya?”
“Mereka teriak
lagi. Tasya benci mereka,”
Aku tahu siapa
yang dia maksud.
“Mereka jahat!
Sampai kapan mereka mau teriak di depan Tasya? Tasya salah apa? Mereka nggak
perlu sayang sama Tasya. Tasya cuma pengen mereka diem,”
Aku menggenggam
tangannya. Erat. “Kamu jangan takut, ada aku disini,”
“Tasya nggak
takut. Sekarang mereka udah diem kok. Selamanya. Selamanya Tasya nggak bakal denger
suara mereka lagi. Hehehe,”
Keningku
berkerut. “Maksud kamu?”
Tiba-tiba angin
berhembus lebih kencang dari biasanya. Segerombol awan hitam berjalan dan
merusak pemandangan sunset yang begitu indah sore itu. Ditambah suara petir yang
menggelegar membuat suasana menjadi kelabu dalam sekejap.
Dia tersenyum. Senyum
termengerikan yang pernah dia tunjukkan untukku.
“Tasya, apa yang
udah kamu lakuin?”
Dia diam tapi
tatapannya tertuju pada genggaman tanganku. Entah feelingku yang salah atau bagaimana, tapi tatapan itu seakan
menjadi pertanda bahwa jawaban dari pertanyaanku ada disana. Aku melepaskan
genggamanku perlahan.
Merah. Ada
warna merah lagi.
Mataku
terbelalak kaget. YA TUHAN! Ini... ini... “Darah?” aku manatap nanar telapak
tanganku yang berlumuran darah. “Tasya, kamu...?” belum sempat aku bertanya,
dia kembali memberiku kejutan lain.
Tangannya
terayun kedepan. Jari telunjuknya menunjuk sesuatu. Sesuatu disana, di tengah
laut. Mengambang. Terseret ombak kesana kemari. Itu...
Astaga! Itu
manusia! Ya, aku yakin aku tidak salah lihat. Itu manusia. 2 manusia yang sudah
berwujud mayat.
Aku terlonjak
kaget. Refleks aku berdiri dan menjauh dari gadis itu. “Kamu... Kamu membunuh
mereka? Kamu gila, Sya!”
Lagi-lagi dia
tersenyum. Sial! Itu bukan senyum Tasya. Dia pasti sedang dimasuki roh halus. “Apa
kamu bilang? gila? Kamu bilang Tasya gila? Hahaha,” dia bangkit dari tempat
duduknya. Lalu kejutan ketiga muncul dan sukses membuat jantungku terlepas dari
posisinya.
Putih lagi.
Lalu merah. Dress baby doll putihnya
berlumuran darah. Tiba-tiba kakinya melangkah mendekatiku, meninggalkan jejak
berwarna merah. Merah lagi. Lalu putih. Wajah itu memutih. Pucat. “Iya, KAMU
GILA! Ini sudah gila namanya! KETERLALUAN!”
“KAMU YANG
GILA! Belum sadar juga? HAHAHA,” dia tertawa terbahak-bahak seperti mendapatkan
energi petir yang berebut bersahut-sahutan. Bulu kudukku kembali berdiri. Aku
hendak mundur tapi langkahku terpentok pada pagar kayu pembatas jetty. Sial!
Kalau aku mundur selangkah lagi, aku akan jatuh ke laut.
“PERGI! PERGI
KAMU DARI SINI! KAMU EMANG UDAH BENAR-BENAR NGGAK WARAS!”
“Hei, yang
nggak waras itu siapa?” Dia mengepungku. Semakin lama semakin mendekat, sampai tangannya
berhasil membelai pipiku. “Rendy sayang... kamu pikir Tasya nyata?”
“Hah?” keningku
berkerut lagi. Apa-apaan ini?
“Kamu belum
sadar ya kalau kita satu? Tasya itu kamu. Kamu itu ya Tasya. Jiwa kita sama. Kalau
menurut kamu Tasya gila, sesungguhnya kamu yang gila,” kali ini tangannya
mengelus rambutku.
Kepalaku
mendadak sakit. Sakit sekali. Dia pasti melakukannya lagi. Dia hendak mencuri
seluruh memori otakku. Ya Tuhan, tolong hentikan ini! Sakit Sekali... “AAAARRRGGHHH!!!”
Berisik.
............................................
lalu hening.
Pandanganku
mengabur. Semua berputar. Aku tersedot dalam mesin waktu. Lalu aku tersadar.
Sekelilingku sepi. Aku dimana? Putih. Semua putih. Tidak ada apa-apa disana.
Yang ada hanya sebuah layar besar yang sedang memutar sebuah film.
Adegan 1
Sebuah taman.
Tasya disana. Duduk disebuah ayunan dengan wajah yang begitu gembira. Hei, ada
aku juga!
“Kamu mau es
krim?” kataku sambil menyodorkan es krim cone
rasa vanilla.
“Mau!” dia
meraihnya lalu menjilatnya dengan penuh keceriaan. “Hmm, enak,”
Aku
memandangnya. Cukup lama. “Sya, kamu punya mimpi nggak?”
“Punya,”
“Apa?”
“Tasya pengen
jadi matahari,”
“Matahari?”
“Tasya pengen
bercahaya, Ren. Tasya pengen nggak ada orang yang takut gelap lagi karena Tasya,”
Adegan 2
Sebuah ruang
tamu dalam rumah bergaya minimalis. Ada 2 aktor disana. Seorang pria—kekar, berwajah garang, berkumis,
memakai kaos oblong dan jaket kulit dengan seorang wanita yang mungkin 5 tahun
lebih muda dari si pria—cantik,
rambut panjang dan dicepol asal, memakai daster berwana biru langit. Wajahnya
mirip denganku.
“DASAR LELAKI BIADAB!!! KAMU PIKIR SAYA NGGAK BISA HIDUP
TANPA KAMU!!!”
“Oh ya? Coba buktikan! Aku nggak yakin kamu bisa, HAHAHA,”
“BRENGSEK!!!”
“Sudahlah, Ndah. Semua makhluk di bumi ini juga tahu hidup
kamu itu bergantung sama aku,”
“Dari awal seharusnya saya sadar kalau kamu itu PENGECUT!!!”
“Pengecut? Hei, aku tahu kamu juga nggak tahan merawat anak
sial itu!”
PLAK!!! Si wanita menampar si pria. Lalu terdengar suara
tangisan.
Adegan 3
Sebuah pintu
besar. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Kamera menyorot 2 orang sedang
berbincang-bincang di dalam. Seorang lelaki berjas putih dengan seorang wanita
yang tidak terlihat karena membelakangi kamera.
“Dia mengidap
schizofrenia,” kata si lelaki berjas putih.
“Schizofrenia?”
“Ya,
schizofrenia. Sejenis gangguan jiwa yang sangat hebat. Perasaan, pikiran, dan
perbuatannya menjadi terpecah dan telihat tidak serasi. Kadang dia bisa tertawa
padahal hatinya sedang sedih, atau sebaliknya. Terlihat tidak sinkron dan
sering berubah-ubah,”
Hening.
Si wanita
menunduk.
“Bu, apa anak
Ibu pernah berkata bahwa dia melihat sesuatu yang Ibu tidak lihat atau
mendengar sesuatu yang tidak Ibu dengar?”
“Sering, Dok.
Dia sering berkata bahwa dia melihat gadis cantik sedang duduk di ujung jetty
rumah kami setiap sore. Saya juga sering melihat dia seperti berbincang dengan ‘sesuatu’
yang tidak saya lihat,”
“Sudah saya
duga,” lelaki berjas itu menyandarkan punggungnya pada kursi, “Penderita
schizofrenia memang sering mengalami halusinasi. Mereka menciptakan sosok-sosok
sendiri dalam khayalan mereka yang mungkin akan terus menghantui sepanjang
hidup mereka,”
“Apa dia bisa
sembuh, Dok?”
“Bisa, tapi
sulit. Karena...,” kalimat lelaki berjas putih itu menggantung setelah
melihat ke arah kamera.
Beberapa detik
kemudian, si wanita menoleh, mengikuti arah pandangan si lelaki berjas putih.
Ternyata dia wanita yang sama seperti pada adegan kedua.
“Re... Rendy?”
Adegan 4
Lokasi sama
seperti pada adegan kedua. Tapi kali ini di dalam sebuah kamar. Ada aku dan
wanita tadi. Aku terbaring diatas ranjang sedangkan si wanita duduk disampingku
dan mengelus-elus rambutku lembut. Matanya bengkak dan berair.
“Semua akan
segera membaik, Sayang. Ibu akan menjagamu dan tidak akan membiarkan orang lain
membuatmu terluka. Bahkan ayahmu sendiri. Ibu berjanji, selama nafas Ibu masih
berhembus, Ibu tidak akan membiarkan lelaki itu menyentuh dan menyakitimu.
Karena kamu anak Ibu satu-satunya. Anak kebanggaan Ibu. Ibu sayang kamu,”
Wanita itu
mengecup keningku.
Adegan 5
Tasya. Dia
berdiri di ujung jetty. Angin membuat rambut dan dress baby dollnya bergerak-gerak. Sekilas aku melihat dia
tersenyum lalu melambaikan sebelah tangannya.
Kemudian dia
membalik badan. Tiba-tiba semua menjadi buram dan berkabut. Lama kelamaan dia
hanya terlihat seperti sebuah siluet. Siluet dalam kegelapan. Semakin lama
semakin kabur dan menjadi tidak terlihat.
Lalu hilang.
Tasya menghilang.
Adegan 6
Kali ini rasanya
aneh. Adegan ini terasa nyata karena yang menjadi aktor satu-satunya adalah
aku.
Aku berada di
sebuah jetty. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disana. Nafasku tersengal-sengal dan
seluruh tubuhku merinding. Aku berlumuran darah. Wajahku, badanku, tanganku sampai
kakiku yang meninggalkan jejak berwarna merah. Aku tersentak lalu melihat
kesekelilingku. Banyak cipratan darah dimana-mana. Bahkan sampai balon-balon putih
yang terikat di pagar kayu pembatas jetty berubah warna menjadi merah.
Aku mundur
beberapa langkah sampai aku terjatuh karena menabrak sesuatu. Sesuatu yang
besar. Aku mengucek mataku. Tidak mungkin, aku pasti salah lihat. Aku kucek
sekali lagi. Dua kali. Tiga kali. Dan semua semakin terlihat jelas.
Aku.....................................
aku menabrak mayat!
2 mayat yang
ditumpuk. Mayat pria dan wanita yang terdapat pada adegan kedua. Dan didekat
mayat-mayat itu—tepatnya di
ujung kakiku—ada sebuah
pistol tergeletak. Aku lekas mengambil pistol itu. Kalau-kalau si pembunuh itu
muncul, setidaknya aku bisa membunuhnya terlebih dahulu.
Sedetik...
Semenit....
................................
beberapa menit berikutnya, tidak juga ada yang muncul.
Aku memandang
pistol itu lekat. Lalu tatapanku tertumbuk pada mayat-mayat itu. Pistol...
mayat... pistol... merah... darah...
Aku... aku yang
membunuh mereka?
Tidak mungkin.
Rasanya ini mustahil. Bagaimana mungkin aku membunuh mereka tapi aku tidak
sadar?
Aku membunuh
mereka.
Aku membunuh.
Aku pembunuh.
Aku...
pembunuh?
Hatiku
bergemuruh. Pistol ini... aku membunuh mereka dengan pistol ini. Nafasku
menderu dan mataku panas. Apa yang sudah aku lakukan? APA YANG BARU AKU LAKUKAN,
TUHAN?
Jemariku
menekan pemantik pistol lalu mengarahkannya...................................
............................................ke
pelipisku.
Dan yang terjadi
selanjutnya, aku tidak tahu...
***
HEADLINE NEWS:
JAKARTA— Seorang pemuda penderita gangguan jiwa tewas bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri setelah membunuh kedua orang tuanya.
-THE END-
Kamis, 25 Oktober 2012
Sinyal Hujan
Sore ini, seharusnya cahaya
orange yang merambat memasuki jendela kamarku. Tapi awan hitam menutupinya dan
membuat segala sesuatunya menjadi lebih gelap. Anehnya, ada perasaan bahagia
yang mencuat setiap kali aku melihat mendung membungkus matahari. Itu artinya
hujan akan segera turun. Dan itu juga berarti dia akan segera muncul.
Yah... setidaknya dalam pikiranku
sendiri.
***
5 tahun yang lalu...
Hujan turun tidak terlalu deras.
Aku menikmati setiap rintiknya sambil membekap tanganku dalam saku jaket.
Dinginnya sungguh luar biasa. Kalau saja besok tidak ada ujian statiska, pasti
aku sudah menerobos hujan sedari tadi. Mungkin terdengar sedikit
kekanak-kanakan, tapi aku suka hujan-hujanan. Membiarkan setiap tetesnya jatuh
diatas kepalaku adalah salah satu caraku mencintai hujan. Aku suka hujan.
Sangat suka.
Cekrek!
Aku menoleh dan mendapati seorang
lelaki yang lebih tinggi dua jengkal dariku sedang memainkan kamera canonnya. Posisi
berdirinya tidak jauh dariku. Mungkin hanya satu meter.
Cekrek!
Dia memotret sekali lagi. Dua
kali. Tiga kali.
“Kamu suka hujan?”
Sekilas aku melihat ekspresi terkejut
dari wajahnya, lalu dia menoleh. Dingin, itulah kesan pertama yang aku tangkap
dari mimik mukanya saat menatapku untuk kali pertama. Ada jeda hening yang
cukup lama sampai akhirnya dia membuka mulut.
“Suka banget,” jawabnya singkat lalu
kembali asyik memotret sesuatu diatas kepalanya. Mataku mengikuti arah bidikan
lensanya. Genteng.
Keningku berkerut. “Kok hujannya
di foto?” Baru kali ini aku menemukan seseorang yang sebegitu sukanya sama
hujan sampai diabadikan dalam lensa kamera.
“Biar bisa ngelihat hujan setiap
hari,”
“Kenapa nggak dirasain aja?” Aku
memejamkan mata dan mulai merasakan jiwaku bersatu dengan hujan. “Ngerasain
hujannya harus pake hati. Rasanya tenang, damai, semua masalah seakan tiba-tiba
menghilang. Terus tarik nafas perlahan. Cium bau hujan. Hmmm... rasanya seperti
kembali hidup,”. Aku membuka mata dan mendapati dia memperhatikanku dengan
seksama. Aduh, jadi malu.
Dia tersenyum, aku pun meralat
perkataanku bahwa dia adalah manusia dingin. Dia nggak dingin, tapi sejuk.
Senyumnya teduh. “Setiap orang punya cara masing-masing buat nikmatin hujan,”
“Ah, aku setuju banget!”
“Kamu mau tahu nggak cara lain
yang asyik buat nikmatin hujan?”
“Emang gimana?”
“Minum teh susu hangat. Mau coba?”
“Sekarang?”
“Mumpung masih hujan,”
Detik berikutnya meluncur di luar
perkiraanku. Aku baru mengenalnya. Namanya Adit. Dia anak jurusan teknik sipil yang
kampusnya bersebelahan dengan kampusku. Hobbynya fotografi dan hujan adalah
objek kamera favoritenya. Menurutnya, hujan dan teh susu hangat adalah
kolaborasi paling top yang nggak ada tandingannya. Dan aku setuju setelah mencobanya
di cafetaria kampus bersamanya.
Aku nggak nyangka, hujan akan
mengikat kami sedemikian dekat. Walaupun beda kampus, tapi saat hujan turun,
dia rela berlari menuju kampusku dan mencariku. Lalu kami ngobrol dan membicarakan
apa saja sambil menikmati secangkir teh susu hangat. Begitu seterusnya. Hujan seakan
sudah menjadi sinyal bahwa kami harus bertemu.
Sampai suatu ketika hujan kembali
turun...
Aku mengaduk-aduk teh susu
hangatku sambil meresapi “rasa hujan” yang begitu nikmat. Tiba-tiba sebuah
pesan singkat masuk ke dalam handphoneku.
Sender: Hujanku
Maaf telat, Sayang. Masih ada dosen nih. Diluar hujan ya? Cieee, pasti
kamu kegirangan deh.
Seketika itu juga aku memandang
hujan. Entah kenapa sebersit senyum terbit dari dasar hatiku. Aku tahu,
hujanlah yang membawa kebahagiaan itu. Tanganku merogoh sesuatu dalam tas. Sebuah
note dengan pulpen yang aku selipkan di ulirnya. Jemariku pun mulai menari diatas
kertas yang masih suci.
Aku menyebutnya hujan.
Bulirnya meneduhkan bahkan sampai ke relung yang
terdalam
Bersamanya aku menemukan duniaku
Bolehkah
aku menyimpannya?
Setidaknya untuk ku kenang sendiri.
“Raina!”
Mendengar namaku dipanggil, mataku
langsung teralih pada sumber suara. Aku terkejut sepersekian detik.
“Adit!”
Dia tersenyum. Senyum yang sama seperti
saat kami bertemu. Senyum teduh yang mampu menghujaniku dengan berjuta-juta
kekaguman. Tapi bedanya, kali ini senyum itu bukan untukku.
“Kamu udah nunggu lama ya? Maaf
banget ya, tadi dosennya ngaret,”
“Nggak papa kok. Nih, aku udah
pesenin kopi kesukaan kamu,”
“Terima kasih, Sayang,”
Aku tersenyum lalu melirik
beberapa senti ke arah meja di belakang mejaku. Dia disana, masih dengan teh
susu hangatnya. Ada suara gelak tawa perempuan yang terdengar membaur dengan bunyi hujan.
Sepertinya, dia sudah menemukan “hujan”nya. Begitu juga dengan diriku.
Tiba-tiba dia memiringkan
kepalanya sedikit dan mata kami bertemu pada satu titik. Jujur, saat itu degup
jantungku mulai kacau. Lalu dia menarik bola matanya ke atas—ke arah hujan, dan kembali
menatapku pada detik berikutnya. Entah atas sinyal apa, kami tersenyum berbarengan.
Ah, aku tahu, itu sinyal dari
hujan.
Bukankah hujan yang membuatku
menemukannya?
***
“Kalau hujan, jangan galau mulu!”
“Dih, siapa yang galau?”
“Lah, itu, ngapain kamu berdiri
dipinggir jendela?”
“Aku cuma inget kita waktu dulu,”
“Kenapa? Dulu aku ganteng ya?”
“GR! Sini teh susunya!”
“Nih! Dua cangkir teh susu hangat
plus suara hujan, romantis banget ya? Happy
anniversary, Raina! I love you,”
“Love you too, Adit!”
-THE END-
Kamis, 18 Oktober 2012
Kepo allert
Selama ini gue nyangka, orang macem gue yang sifat kepo-nya udah mendarah daging sampai menusuk ke tulang belulang (halah!), selamanya bakal cuma bisa mengepoi orang dan akan terhindar dari kekepoan orang lain. TAPI SEMUA SALAH TERNYATA, HAHAHAHA. Saya terkepoi, Sodara-sodara! TERKEPOI!!! Dan ini termasuk aib dalam dunia perkepoan. Hani bersabda "Barang siapa yang sudah terkepoi, niscaya anda termasuk MANUSIA LEMAH!". That's mean include me :(
Akhirnya Hani Teguh membuat sebuah quote:
"TIDAK ADA MANUSIA YANG BISA BEBAS DARI SIFAT KEPO, BAIK ITU MENGKEPOI ATAUPUN TERKEPOI, MAKA BERHATI-HATILAH. KUATKAN BENTENG PERTAHANAN SELAMA MEMILIH HIDUP DI DUNIA MAYA"
Sekian.
Sabtu, 06 Oktober 2012
Abaikan postingan ini
"Aneh banget sih lo, Han!"
"Mimpi apaaaa gue punya temen seaneh lo,"
"Lo itu cewek paling freak yang pernah ada di muka bumi!"
"Mimpi apaaaa gue punya temen seaneh lo,"
"Lo itu cewek paling freak yang pernah ada di muka bumi!"
Kutipan kata-kata diatas itu berkeliaran di pikiranku akhir-akhir ini. Mereka bilang aku aneh? Aneh apanya sih? Berkali-kali garuk-garuk pantat tetep aja nggak nemu jawabannya. Help! :(
Coba deh pikir, apa aneh kalo kamu...
1. Anak kedokteran tapi males cuci tangan sebelum makan
2. Ngaku cewek tapi hobby melihara bulu ketek
3. Bangga pamerin sendawa di depan gebetan
4. Pengen diet tapi apa aja diembat
5. Suka sok jalan di catwalk kalo udah ketemu kaca di kamar
6. Joget-joget eksotis kalo denger lagu nge-beat
7. Fans Kangen Band *serius*
8. Sering kentut, bau, tapi jago nyembunyiin dari orang-orang
9. Gampang GR! gampaaaaaang banget :(
10. Ngeluh, ngeluh dan ngeluh. Tiada hari tanpa ngeluh
11. Doyan stalking. Bahkan stalking-in tukang somay depan sekolah juga pernah
12. Kalo mandangin orang-orang bercengkrama, pasti di otak ini udah bikin coversation sendiri
13. Sangat amat cinta film drama cinta-cintaan
14. Selalu merasa menyatu dengan alam. #apeuh
15. Ngupil kalo belom dapet upilnya nggak bakal nyerah walau harus berdarah. Hidup upil!
Itu bukan aneh kan? Aku masih normal kan? Tolong, katakan kalo aku masih normal, Fernando! Hiks :'(
Kamis, 13 September 2012
Sabtu, 25 Agustus 2012
In love with him (i mean his character)
Semua berawal dari kebiasaan gue ngelamun waktu nyetir motor malem-malem. Waktu itu yang ada dipikiran gue, gue pengen bikin 1 tokoh cowok buat bakal calon novel gue nanti. Tokoh ini harus punya karakter kuat dan real di mata gue. Itu artinya dia harus benar-benar nyata, dia harus benar-benar ada, dia adalah orang-orang disekeliling gue. Gue coba berpikir keras.
Awalnya si A yang humoris, apa adanya, luar biasa dalam hal sosialisasi, dan penuh kejutan. Gue pikir, karena gue deket sama tokoh ini, gue nggak perlu kerja keras buat nyari tau tentang dia. Gue tau hampir semua tentang makhluk ini. Tapi pada akhirnya gue coret karena gue pikir tokoh ini kurang............... apa ya? kurang greget gitu loh.
Lalu imajinasi gue beralih ke si B. Sifatnya jaim, sok romantis, suka mendem apa yang dia rasain, sabar luar biasa sama hidupnya yang keras, kadang childish, sempat menarik perhatian gue. Tapi langsung gue coret, karena jujur aja gue nggak suka sama sifat "childish"nya. Sifat kayak gini nih yang bikin hampir semua cewek ilfil. Termasuk gue yang anti-banget-cowok-childish.
Otak gue terus mikir. Memory SMA pun terputar kembali. Dan nggak tau kenapa, tiba-tiba otak gue stuck sama tokoh itu. Sebut saja si C. Sempet gue ragu karena gue sama sekali nggak kenal cowok ini. Ngobrol aja nggak pernah, paling cuma ngomong satu dua kalimat. Tapi sebersit keyakinan muncul. Gue yakin cowok ini punya "sesuatu" yang tersembunyi dan nggak banyak orang tau. Sifatnya yang cuek dan terkesan kayak nggak pernah punya masalah—jujur bikin gue penasaran.
Pas nyampe rumah, gue buka internet. Sinyal "kepo" gue udah mencapai puncaknya. Awalnya gue coba kepo lewat twitter, nggak banyak yang gue dapet dari sini. Terus gue coba search lewat google. Gue nemuin formspringnya. Dari sini gue mulai menebak beberapa sifat dan karakternya. Tapi rasanya ada yang kurang, akhirnya gue coba search lagi di google dengan keyword yang gue tambahin selain namanya. Entah kenapa gue ngetik "......... (nama si C) blogspot" di kotak search google.
And TARAAAAA, i found that! i found his blog, a place where he usually pour the content of his mind and heart. Dan sumpah, tulisan-tulisannya di blog itu benar-benar bikin gue bengong, mangap, nahan napas, bahkan sampe lupa ngedip. Dan yang terparah, ada satu tulisan—he said that he cried when he wrote that—yang sukses bikin gue ngapusin air yang tumpah dari mata gue sama daster gue. Berkali-kali tanpa sadar gue gucapin "Oh God, gue baru tau dia orangnya kayak gini....,". Gue bener-bener tenggelam dalam setiap rangkaian kata-katanya yang lepas dan apa adanya dia, seakan gue ada di dunianya yang nggak banyak orang tau.
Sampai di tulisannya yang terakhir, gue akhirnya berani mendeklarasikan, "I'm totally in love with his character and lock him to be my main figure in my novel soon,"
Langganan:
Postingan (Atom)